Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, mengatakan komoditas perkebunan yang ditawarkan yakni karet, minyak sawit atau CPO, kopi, kakao, tekstil, teh, dan rempah-rempah. Namun dia menegaskan, tidak akan mengekspor komoditas perkebunan dalam bentuk mentah.
Selain hasil perkebunan, komoditas ekspor lain yang ditawarkan ke Rusia antara lain ikan olahan, resin, kertas, mesin, alas kaki, produk industri pertahanan, sampai furniture.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama ini mengenai komoditasnya kita masih dalam pembahasan, kita tunggu (kesepakatan) dari mereka (Rostec). Pertannyaan berapa harga komoditasnya? Kita masih open nego, kita analisa mana yang lebih baik, berapa kira-kira harga CPO kita, dan (komoditas) lainnya," ungkap Enggar di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Selasa (22/8/2017).
Pemerintah mengupayakan agar ekspor hasil perkebunan Indonesia ke Rusia dalam skema imbal dagang itu berupa produk turunan, sehingga memiliki nilai tambah yang lebih besar bagi neraca perdagangan Indonesia.
"Mereka awalnya harap karet saja, kita minta enggak itu saja. Kita sampaikan ke Rostec komoditas yang juga punya nilai tambah. Saya jelaskan ke mereka, Anda jual pesawat ke kami itu juga added value, saya enggak mau kirim karet mentah, minimal sudah rubber, CPO juga kalau bisa turunannya," jelas Enggar.
Enggar menambahkan, selain hasil kebun, pihaknya juga menawarkan kepada Rusia produk militer buatan BUMN Indonesia dan produk furniture dibarter pesawat tempur Sukhoi.
"Kita juga tawari dengan komoditi lainnya antara lain produk industri pertahanan yang tidak diproduksi mereka. Jadi bisa sebagai komplementer bagi mereka juga, dan mereka sedang melakukan evaluasi," jelas Enggar.
Meski belum bisa menyebut komoditi industri pertahanannya secara spesifik, jelas Enggar, produk yang ditawarkan ke Rusia yakni berasal dari industri-industri BUMN strategis Indonesia seperti PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia. Bahkan, Indonesia juga menawarkan furinitur untuk dibarter dengan pesawat.
"Ya macam-macam kita serahkan ke Pindad punya ini, Dirgantara punya ini, PT PAL punya ini. So you can choose. Kedua kami juga menyampaikan mengenai produk jadi berupa furnitur," terang Enggar.
Bertemu Rostec
Saat ini kedua negara sudah menyepakati barter 50% dari nilai pesawat Sukhoi dengan komoditas perkebunan lewat MoU, dan akan diteruskan menjadi perjanjian jual beli setelah pembahasan jenis komoditas, sekaligus valuasi harganya, disepakati.
"Rostec nanti akan ke sini, kita sama-sama paralel meeting. Kalau semua sudah disepakati, kita akan meningkatkan MoU dengan perjanjian imbal dagang dengan mereka. Kapan proses delivery, prosesnya akan dibicarakan lagi. Karena detailnya banyak yang harus dibahas, jenis komoditasnya dan value-nya. Mereka juga minta pelabuhannya tidak di satu tempat," papar Enggar.
Sebagai informasi, kebijakan imbal beli itu diatur dalam UU Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang.
Dalam regulasi itu, setiap pembelian alat peralatan pertahanan keamanan (Alpalhankam) harus memenuhi minimal 85% kandungan lokal (ofset). Sementara dalam pembelian Sukhoi Su-35, Rusia memberikan ofset 35% dari kewajiban 85%, sehingga pembelian pesawat tempur tersebut harus dibarengi dengan kewajiban Rusia membeli atau imbal beli sebanyak 50% dari nilai kontrak sebesar US$ 1,14 miliar.
"Persentase dalam pengadaan Su-35 yaitu 35% dalam bentuk ofset, dan 50% dalam bentuk imbal beli. Dengan demikian, Indonesia mendapatkan nilai ekspor sebesar US$ 570 juta dari US$ 1,14 miliar pengadaan Su-35," pungkas Enggar. (idr/hns)