Abdul Wahid, seorang supplier alias pemasok sweater ke Tanah Abang mengeluh sudah setahun terakhir permintaan turun. Padahal biasanya pedagang langganan Abdul di Tanah Abang rutin memesan sweater.
"Biasanya permintaan itu mengalir. Kalau kita beres, kirim. Tapi sekarang ada istilah tahan dulu Mas, barang masih penuh," ujar Abdul kepada detikFinance, Rabu (20/9/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya Abdul bisa memasok 5.000 potong sweater per bulan ke Tanah Abang, tapi setahun terakhir pasokannya enggak sampai 1.000 potong.
Selain itu, biasanya pedagang langganannya di Tanah Abang langsung membayar setiap ada pengiriman, tapi sekarang justru bon menumpuk. Pedagang belum bisa bayar gara-gara barang dagangannya belum laku.
Alhasil, Abdul kekurangan dana segar untuk menjalankan bisnisnya. Selama ini Abdul mengandalkan uang hasil pembayaran pedagang Tanah untuk memutar roda bisnisnya, termasuk membayar gaji karyawan.
Kini dia harus memangkas karyawan dari yang sebelumnya 15 orang menjadi 8 orang. Dari 8 orang itu, ada kalanya dia terpaksa memulangkan sebagian karena tak bisa membayar gaji mereka.
Omzet dagangannya juga turun, dari sebelumnya bisa mencapai Rp 300 juta sebulan, menjadi kurang lebih Rp 50 juta sebulan.
"Omzet turun, dapat Rp 50 juta sebulan saja termasuk beruntung," katanya
Bahkan, dalam seminggu terakhir Abdul belum menerima pesanan sweater dari Tanah Abang.
"Minggu ini saya belum kirim, pening juga, sedih banget," kata Abdul.
Dia berharap, pemerintah memperhatikan masalah lesunya daya beli ini, khususnya di Pasar Tanah Abang. Sehingga, rantai suplai dan permintaan di Pasar Tanah Abang bisa kembali normal seperti sebelumnya. (hns/wdl)











































