Kutipan tersebut disampaikan oleh Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim saat menutup sambutannya pada pembukaan pertemuan puncak Annual Meeting International Monetary Fund (IMF)/World Bank (WB) 2017.
"Seperti kata Martin Luther King, kita harus bertindak, dengan situasi sekarang yang sangat mendesak, karena kita tahu, seperti yang dia katakan, ada yang terlambat," kata Jim di Washington, Jumat (13/10/2017).
"Jika kita berkomitmen pada pilar-pilar ini, jika kita menginvestasikan sumber daya yang tepat, jika kita bertindak pada situasi yang mendesak ini. Saya percaya bahwa kita bisa menjadi generasi pertama dalam sejarah untuk mengakhiri kemiskinan di muka bumi," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kabar baik datang dengan ekonomi tumbuh yang lebih tinggi dari yang diharapkan. Perdagangan mulai naik, meskipun investasi masih lemah. Kim mengaku khawatir ini bisa memburuk karena adanya proteksionisme dan ketidakpastian kebijakan atau kemungkinan gejolak pasar keuangan mengganggu laju pemulihan ekonomi dunia.
Maka dari itu, Kim meminta semua negara tetap fokus pada reformasi struktural. Reformasi pada komponen yang bisa memperkuat fundamental ekonomi.
"Itulah sebabnya sekarang adalah saatnya bagi semua negara untuk mengambil tindakan atas reformasi yang dibutuhkan untuk menumbuhkan ekonomi mereka dan bersaing dalam masa depan yang lebih kompleks, menuntut, dan terdigitalkan," paparnya.
Pada 2013 lalu, Bank Dunia mengumumkan proyeksi akhir kemiskinan ekstrem pada 2030. Tiga cara yang ditempuh, pertama adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Bagi Kim, pemerintah setiap negara boleh saja mengeluarkan kebijakan untuk menggenjot ekonomi. Namun perlu diperhatikan, setiap kebijakan tidak berdampak langsung terhadap semua orang, karena ada yang sifatnya lanjutan. Masyarakat dengan kelas menengah ke bawah biasanya rentan akan kebijakan tersebut.
"Pilar pertama strategi kami untuk mengakhiri kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan bersama adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan," paparnya.
Kim menceritakan tiga tahun yang lalu di Mesir, subsidi energi mencapai 6,6% dari PDB, lebih dari yang dikeluarkan pemerintah untuk kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Ketika Mesir ingin mereformasi sektor energi, Bank Dunia siapkan langkah komprehensif agar penyesuaian subsidi bisa berlangsung lebih halus dan tidak menekan masyarakat kelas menengah ke bawah.
IBRD memberikan bantuan teknis dan ahli analisis dan pinjaman US$ 3 miliar selama 3 tahun untuk reformasi kebijakan, IFC meminjamkan US$ 645 juta ke sektor swasta, dan US$ 210 juta asuransi risiko dari MIGA, serta gabungan IFC dan MIGA senilai US$ 2 miliar untuk investasi swasta di program Photovoltaic Solar.
Kedua, penciptaan pondasi ekonomi yang tahan gejolak dan ancaman. Pertumbuhan ekonomi tidak bisa menjadi satu-satunya yang dituju, karena masing-masing negara juga harus memikirkan risiko yang tiba-tiba muncul dan menjatuhkan ekonomi sangat keras.
Salah satu ancaman yang diingatkan oleh Kim adalah soal wabah penyakit menular. Efeknya sangat besar terhadap perekonomian.
"Seringkali, kita mengabaikan wabah penyakit menular sampai menjadi ancaman global dan kemudian kita segera melupakannya setelah ancaman tersebut mereda. Dengan Fasilitas Pembiayaan Darurat Pandemi, untuk pertama kalinya, kami memiliki asuransi pandemi yang sebenarnya, sebuah kebijakan bernilai US$ 450 juta yang secara otomatis akan mengucurkan dana ke negara-negara paling miskin saat epidemi mencapai tahap kritis," terangnya.
Ketiga, yaitu investasi pada Sumber Daya Manusia (SDM). Kim akan meluncurkan Indeks SDM, yang merupakan alat ukur antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas manusia.
"Ide ini sudah ada sejak lama. Tapi dengan data yang lebih baik, transparansi yang lebih besar dalam membagikan data tersebut dan alat analisis baru yang lebih kuat, sekarang kita memahami bahwa hubungan antara modal manusia dan pertumbuhan ekonomi bisa jauh lebih mendalam daripada yang pernah kita bayangkan," ungkap Kim.
Menurutnya dengan berinvestasi pada manusia, maka sekaligus mampu menciptakan kelanjutan ekonomi itu sendiri. Dalam 25 tahun terakhir, antara 1991 hingga 2016, ada perbedaan 1,25% dari Produk Domestik Bruto (PDB) antara pertumbuhan ekonomi dan investasi pada manusia.
"Dan melihat ke depan, pasti investasi pada orang akan menjadi lebih penting dalam ekonomi digital yang semakin meningkat di masa depan. Beberapa penelitian memperkirakan bahwa sebanyak 65% anak sekolah dasar saat ini akan bekerja di lapangan pekerjaan atau yang belum ada," terangnya.
"Kita tahu bahwa negara harus membuat pilihan sulit tentang bagaimana cara mengalihkan dana publik. Tapi kami percaya, dan buktinya menunjukkan, semakin banyak dan lebih efektif. Anda berinvestasi di bidang kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial, semakin baik yang akan anda lakukan sebagai ekonomi," pungkasnya. (mkj/ang)