Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J Supit, menilai program tersebut memang bisa mendorong daya beli karena nantinya pekerja akan dibayar tunai mingguan ataupun harian. Tapi sifatnya cuma sementara.
"Program itu salah satu stimulus mendorong langsung daya beli masyarakat untuk bisa memutar roda ekonomi," tuturnya saat dihubungi detikFinance, Kamis (9/11/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikarenakan bersifat sementara, Anton mengatakan, program tersebut bukan jawaban yang dibutuhkan untuk menyikapi anomali perekonomian saat ini. Sebab dunia usaha membutuhkan perekonomian yang stabil bukan yang bersifat sementara seperti program padat karya cash.
Seharusnya, kata Anton, pemerintah fokus agar bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan yang permanen. Salah satu caranya dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
"Yang paling penting penciptaan lapangan kerja yang lebih permanen. Ini syaratnya iklim investasi harus dibenahi," imbuhnya.
Baca juga: Daftar Toko Ritel Dunia yang Tutup Tahun Ini |
Menurut Anton, tutupnya perusahaan dalam dunia bisnis merupakan hal yang biasa. Itu menjadi strategi perusahaan masing-masing dalam melakukan efisiensi.
Namun jika sudah banyak toko ritel yang tutup menjadi sinyal bahwa memang daya beli masyarakat sedang terganggu. Salah satu faktor menurunnya daya beli adalah tingkat pengangguran, meskipun saat ini belum ada angka pasti.
"Kita setiap tahun ada 2 jutaan pencari kerja itu masuk bursa pencari kerja. Belum sesuai data BPS ada 7 jutaan orang yang pengangguran terbuka," tambahnya.
Baca juga: Toko GAP di Pondok Indah Tutup |
Oleh karena itu, tumbangnya industri ritel menjadi peringatan keras bagi pemerintah agar mencari cara menambah lapangan pekerjaa. Satu-satunya cara dengan memperbaiki iklim investasi.
Seperti diketahui, beberapa perusahaan ritel tengah melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah outlet, seperti Matahari dan GAP. Selain itu ada pula merek ritel yang ditutup seperti Lotus, Debenhams dan 7-Eleven (Sevel). (mkj/mkj)