"Inikan acara dari G20 selama ini melakukan apa yang disebut riview antar negara-negara anggota G20 untuk mendiskusikan policy yang dianggap mirip antar negara," kata Sri Mulyani di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (4/12/2017).
Dalam kesempatan ini, kata Sri Mulyani, Indonesia bersama Italia diberikan tugas oleh G20 untuk melakukan kajian terkait dengan reformasi kebijakan subsidi, terutama yang telah dilakukan oleh Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebutkan, reformasi kebijakan subsidi energi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, setiap kali reformasi pasti akan timbul isu-isu baru, mulai dari politik, administrasi, hingga sosial.
Dia bilang, reformasi subsidi energi seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi salah satu upaya pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan mulai mengedepankan energi baru dan terbarukan (EBT).
"Jadi mereformasi BBM itu bukan suatu hal teknis, saya punya pengalaman ketika menaikkan harga minyak tanah untuk rumah tangga, jadi isunya bukan lagi menjadi teknis, dan beban anggaran, isunya menjadi isu politik, karena minyak tanah digunakan kebanyakan untuk kebutuhan rumah tangga, dan kebanyakan rumah tangga itu dikonversi ke LPG," jelas dia.
"Jadi ketika kami menurunkan subsidi minyak tanah bahkan menghilangkan ke LPG, isunya dapat dikategorikan ke 3 elemen berbeda, politik, administrasi dengan mengidentifikasi yang tidak menerima manfaat, dan isu sosial yang mengkompensasikan mereka yang hilang subsidi dengan cash transfer," tambah dia.
Pada sisi politik, lanjutnya, pemerintah menghabiskan waktu banyak untuk memberikan keyakinan kepada dewan bahwa kebijakan yang dilakukan ini bertujuan baik, lalu terkait administrasi ini dibahas mengenai siapa yang diuntungkan dan siapa yang menikmati, sedangkan di sisi sosial harus dapat dipastikan bahwa penerima benar-benar masyarakat miskin.
Kondisi di Indonesia, kata wanita yang kerap disapa Ani ini mengakui cukup aneh dibandingkan dengan negara-negara G20 lainnya. Dia mengambil contoh, seperti pemangkasan subsidi listrik, di mana terdapat bukti bahwa yang menikmati tarif listrik yang disubsidi adalah para masyarakat yang terbilang mampu.
Oleh karena itu, tegas Sri Mulyani, pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk melakukan reformasi subsidi BBM dan mengalihkan BBM fosil dengan EBT. Apalagi, potensi EBT di Indonesia masih belum tergarap dengan maksimal.
"Indonesia potensi sekali untuk EBT, seperti panas bumi, matahari, angin, dan air. Indonesia juga masih pemula, tapi dalam 10 tahun Indonesia sudah berhasil membangun PLT Batubara dan berhasil ekspor ke India dan hal ini membutuhkan dukungan kebijakan baru, karena biasanya EBT menjadi sangat mahal pada saat investasi awal, jadi kami siap mendengarkan dan belajar dari bapak ibu sekalian, mengenai riview subsidi energi ini," tutup dia. (mkj/mkj)