Menanggapi hal itu PT Bursa Efek Indonesia langsung menghentikan perdagangan saham DAJK sejak 23 November 2017 kemarin. Hingga saat ini BEI masih menunggu langkah dari manajemen atas putusan tersebut.
"Kalau memang dipailitkan kita kan tinggal konfirmasi apakah mereka ada upaya hukum lain. Apa lagi kira-kira yang mereka bisa lakukan," kata Direktur Penilaian Perusahaan BEI, Samsul Hidayat di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (5/12/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan BEI masih menunggu keputusan finalnya. Jika status pailit sudah final, maka saham DAJK akan dihapus (delisting).
"Iya mau tidak mau, mau ngapain lagi? Contoh kalau kita investasi, beli kambing mau diternakin kambingnya mati itu sama dengan pailit," tegasnya.
Sementara untuk nasib pemegang saham publik sendiri, kata Samsul bergantung pada proses lelang aset DAJK yang dilakukan kurator nantinya. Jika proses lelang aset sudah dibayarkan untuk utang dan kewajiban lainnya dan masih tersisa maka sisa itu merupakan jatah untuk pemegang saham.
Namun jika tidak tersisa, maka pemegang saham hanya bisa gigit jari. Hal itu merupakan bagian dari risiko berinvestasi.
"Kalau ada sisanya. Karena prioritas bayar utang pajak, utang vendor, utang karyawan, bayarin semua. Kalau ada sisa baru kembali ke pemegang saham," tukasnya.
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi perseroan hingga kuartal III-2017, DAJK diketahui memiliki utang terhadap beberapa perbankan yang jumlahnya mencapai Rp 870,17 miliar. Utang perbankan tersebut masuk dalam liabilitas jangka panjang perseroan yang mencapai Rp 913,3 miliar.
Rinciannya, utang pada Standard Chartered Bank sebesar Rp 262,4 miliar, PT Bank Mandiri Tbk sebesar Rp 414,26 miliar, Bank Commenwealth Rp 50,4 miliar, Citibank N.A Rp 26,6 miliar, Bank Danamon Rp 9,9 miliar.
Selain itu ada pula pembiayaan murabahah dari PT Bank BRI Syariah dengan sub jumlah sebesar Rp 106,4 miliar. DAJK juga memiliki kewajiban sewa pembiayaan Rp 28,14 miliar dan lembaga keuangan Rp 96 juta.
Sementara jumlah aset perseroan hingga akhir September 2017 sebesar Rp 1,3 triliun. Angka itu sudah turun jika dibandingkan jumlah aset pada akhir Desember 2016 sebesar Rp 1,5 triliun. (hns/hns)