Ritel Berguguran, Tanda Daya Beli Lesu?

Ritel Berguguran, Tanda Daya Beli Lesu?

Danang Sugianto - detikFinance
Senin, 25 Des 2017 20:15 WIB
Foto: Dok
Jakarta - Tahun ini cukup banyak peritel yang tumbang. Mulai dari aksi tutup cabang yang dilakukan oleh Matahari, Lotus, Debenhams, hingga aksi gulung tikar yang dilakukan oleh Sevel serta sepinya WTC Mangga Dua dan Pasar Glodok.

Badai tutup toko yang terjadi pada industri ritel menimbulkan pertanyaan apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Saling silang pendapat pun terjadi, para pengusaha dan pengamat yakin ada pelemahan daya beli sementara pemerintah yakin daya beli masyarakat masih sehat.

Dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia di Jakarta Convention Center, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan daya beli masyarakat Indonesia tidak melemah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pernyataannya ini dilandasi dengan data yang telah diterimanya. Di mana, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tumbuh 12,1%, sementara tahun lalu hanya sekitar 2%. Tingginya pertumbuhan PPN menandakan adanya peningkatan transaksi jual beli di tengah masyarakat.

"Kalau PPN tumbuh artinya ada transaksi, ada jual beli," kata Jokowi.

Tidak hanya itu, Jokowi juga membantah daya beli orang RI tidak melemah bisa dilihat dari pertumbuhan konsumsi hotel dan restoran yang tumbuh hingga 5,87% dari sebelumnya 5,43%.

Berbeda dengan Jokowi, kalangan dunia usaha justru menilai bahwa secara statistik memang menunjukkan bahwa daya beli masyarakat turun di beberapa sektor, tapi meningkat di sektor lain.

"Pasti dari statistik memang menunjukkan tidak melemah, tapi di satu sisi mungkin ada sektor melemah ada sektor lain meningkat, jadi kalau dilihat secara keseluruhan tidak terjadi penurunan," kata Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani.

Namun, Rosan membeberkan bahwa ada beberapa hal yang mungkin menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Seperti pergeseran gaya hidup kaum milenial yang lebih senang berbelanja online dan liburan.

"Ada yang bilang karena online, walaupun menurut saya tidak signifikan sangat kecil hanya di bawah 2%, kemudian shifting orang lebih banyak ke liburan. Mungkin karena kaum milenial ini memang lebih milik experience dari pada barang-barang yang mahal, mereka bisa selfie bisa sharing, dari pada beli barang mahal," jelas dia.

Sementara Pengamat ekonomi dari Institute dor Economic and Development Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan, peningkatan PPN seperti yang dikatakan Jokowi disebabkan adanya perbaikan administrasi dan meningkatnya kepatuhan wajib pajak pasca tax amnesty.

Menurutnya daya beli masyarakat Indonesia memang mangalami pelemahan. Hal itu terkonfirmasi dengan banyaknya perusahaan ritel yang menutup toko. Tidak hanya itu, penurunan daya beli bisa dilihat dari upah buruh tani yang terus tergerus inflasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Nilai Tukar Petani (NTP) nasional di bulan Maret 2017 turun 0,38% dibandingkan bulan Februari, dari 100,33 menjadi 99,95.

"Begitu juga dengan upah riil buruh bangunan dalam 3 tahun turun. Kesimpulannya upah nominal masyarakat kelas bawah tidak bisa mengikuti kenaikan harga kebutuhan pokok," kata Bhima.

Menurut Bhima, pelemahan daya beli terjadi di kelas bawah sebab untuk kelas menengah ke atas masih memiliki uang namun lebih memilih untuk menyimpan uangnya di bank.

Dana pihak ketiga (DPK) di perbankan naik dari Rp 4.836,8 triliun di 2016 menjadi Rp 5.142,9 triliun pada September 2017.

Kepala BPS, Suhariyantor juga menilai bahwa daya beli masyarakat miskin atau 40% lapisan bawah tengah tertekan. Karena tingkat konsumsi rumah tangga pada triwulan III-2017 tumbuh melambat menjadi 4,93%.

Melambatnya tingkat konsumsi rumah tangga ini karena ada pergeseran pola hidup masyarakat dalam menggunakan pendapatannya.

"Saya bilang ketika kita pendapatannya 100, dulu untuk konsumsi katakanlah 70, 30 untuk yang lain, sekarang sudah terbatas banget lah," kata Suhariyanto di Kantor Pusat BPS.

Untuk kalangan menengah atas, Suhariyanto mengatakan, banyak pendapatannya yang dialihkan ke beberapa sektor, seperti investasi, hingga kesehatan.

"Artinya memang ada persentase konsumsinya pasti akan menurun, nah menurunnya kemana yah, dengan uang terbatas itu dia punya pattern switching dari non leisure ke leisure, kedua tetap dikurangi pendapatan tadi," jelas dia.

Lalu bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah? Kecuk menjelaskan bahwa perekonomian Indonesia meliputi seluruh lapisan masyarakat, baik kaya maupun miskin. Sebanyak 40% kelas bawah atau miskin, 40% kelas menengah, dan 20% kelas atas atau kaya.

Lanjutnya, kontribusi kelas bawah terhadap ekonomi nasional hanya sekitar 17%, sedangkan kelas menengah sebesar 36%, dan kelas atas sekitar 46%. Sehingga, perekonomian lebih dipengaruhi oleh kelas menengah dan atas

Namun Pengamat Ekonomi Faisal Basri justru berbeda pandangan. Dia menepis tanggapan bahwa tutupnya gerai-gerai ritel ini kerap dikaitkan oleh melemahnya daya beli masyarakat.

Menurut dia, rontoknya sejumlah pusat perbelanjaan itu lebih dikarenakan kurangnya manajemen strategi dari perusahaan-perusahaan ritel tersebut di tengah lajunya perubahan perilaku berbelanja masyarakat.

"Anda lihat pertumbuhan ritel selama ini luar biasa. Yang beli kan itu-itu saja. Mal nambah di mana-mana. Yang beli itu-itu juga cuma pindah," katanya.

Faisal Basri menjelaskan, pertumbuhan ritel yang terlampau kencang membuat ritel di Indonesia mengalami oversupply. Jadi proses seleksi alamiah membuat saking kencangnya gerai-gerai ritel itu tumbuh membuat dia rontok satu per satu.

Selain itu, model bisnis yang tak bisa bersaing dengan pemain-pemain baru juga turut mendorong hal ini terjadi.

"Di Inggris juga begitu. Di Inggris banyak yang tutup tapi Primark (ritel modern di Inggris) naik meningkat luar biasa. Semua orang sekarang ke Primark karena murah dan kualitas bagus," ungkapnya.

"Jadi sekali lagi enggak mencerminkan penurunan daya beli. Kemudian ritel-ritel tadi, misalnya yang di Glodok, di Amerika Serikat kan juga mati yang namanya kayak pusat perbelanjaan elektroniknya," sambungnya.

Untuk itu, dia berharap pemerintah tak terkecoh jika ada pengusaha mal atau pengusaha ritel yang meminta relaksasi atau insentif mengenai pajak.

"Makanya jangan sampai pemerintah terkecoh. Sekarang pengurus mal dan sebagainya bilang, pengunjung sepi, minta tarif listrik diturunkan dan lain-lain. Nah ini nih si manja-manja. Dulu waktu ekspansi enggak mikir matang, sekarang dia minta perlindungan lah, fasilitas, subsidi, keringanan. Ya sudah mati, ya mati saja di situ sekalian," ujar dia.

Tutupnya gerai-gerai ritel ini kerap dikaitkan oleh melemahnya daya beli masyarakat. Namun hal ini ditepis oleh Pengamat Ekonomi, Faisal Basri.

Menurut dia, rontoknya sejumlah pusat perbelanjaan itu lebih dikarenakan kurangnya manajemen strategi dari perusahaan-perusahaan ritel tersebut di tengah lajunya perubahan perilaku berbelanja masyarakat.

"Anda lihat pertumbuhan ritel selama ini luar biasa. Yang beli kan itu-itu saja. Mal nambah di mana-mana. Yang beli itu-itu juga cuma pindah," katanya saat ditemui di Plaza Mandiri, Jakarta, Senin (30/10/2017).

Faisal Basri menjelaskan, pertumbuhan ritel yang terlampau kencang membuat ritel di Indonesia mengalami oversupply. Jadi proses seleksi alamiah membuat saking kencangnya gerai-gerai ritel itu tumbuh membuat dia rontok satu per satu.

Selain itu, model bisnis yang tak bisa bersaing dengan pemain-pemain baru juga turut mendorong hal ini terjadi.

"Di Inggris juga begitu. Di Inggris banyak yang tutup tapi Primark (ritel modern di Inggris) naik meningkat luar biasa. Semua orang sekarang ke Primark karena murah dan kualitas bagus," ungkapnya.

Untuk itu, dia berharap pemerintah tak terkecoh jika ada pengusaha mal atau pengusaha ritel yang meminta relaksasi atau insentif mengenai pajak.

"Makanya jangan sampai pemerintah terkecoh. Sekarang pengurus mal dan sebagainya bilang, pengunjung sepi, minta tarif listrik diturunkan dan lain-lain. Nah ini nih si manja-manja. Dulu waktu ekspansi enggak mikir matang, sekarang dia minta perlindungan lah, fasilitas, subsidi, keringanan. Ya sudah mati, ya mati saja di situ sekalian," ujar dia.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) juga mengakui bahwa banyaknya ritel yang tutup bukan karena daya beli masyarakat yang lesu, melainkan karena proses bisnis yang biasa.

Ketua Umum Aprindo Roy Mandey menjelaskan, seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat kelas menengah ke atas yang tinggi bersamaan dengan munculnya toko-toko online mampu mengubah pola hidup masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, hal itu hanya pemicu bukan menjadi alasan utama banyaknya toko toserba atau ritel yang tutup belakangan ini.

"Tutupnya itu yang utama karena mereka ingin rekstrukturisasi, bahwa siapapun bisnis yang tutup itu hal yang biasa, tapi dasar buka tutup itu kan karena revenue lebih kecil dari cost, kenapa? Karena yang belanja lebih kecil, konsumennya enggak berubah bahkan meningkat tapi yang dibelanjakannya makin kecil sehingga tidak berkontribusi terhadap revenue, nah itu yang kita sebut tutupnya bukan karena daya beli yang rendah, tapi masalah costumer behavior-nya berubah," kata Roy di Jakarta, Rabu 1 November 2017.

Roy mengatakan, pertumbuhan sektor ritel sampai semester I-2017 hanya sebesar 3,7% atau turun jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 6%. Bahkan disepanjang 2016 ritel tumbuh 9%.

"Ritel modern saat ini lagi underperform, Memang ritel dengan semester I tumbuh 3,7% tahun ini kita tutup dengan angka 7%, lebih rendah dari tahun lalu, mudah-mudahan saja bisa 7,5% karena semester I hanya 3,7%, berarti kalau semester II sama 3,7% maka baru 7,4% pertumbuhan ritel. Ini tentu menggambarkan ritel masih bertumbuh tapi melambat," ungkap dia.

Sementara transaksi sektor ritel yang berasal dari anggota Aprindo sepanjang 2016 dengan pertumbuhan 9% mencapai Rp 200 triliun. Sedangkan untuk tahun ini dengan proyeksi pertumbuhan yang sebesar 7% maka total transaksi sektor ritel hanya sekitar Rp 210 triliun.

Sementara CEO Bukalapak, Achmad Zaky mengakui bahwa bisnisnya terus meroket. Bahkan dia mencatat dalam satu bulan ada transaksi di Bukalapak mencapai Rp 1 triliun.

Oleh karena itu dia menilai tumbangnya toko ritel harus dikaji lebih dalam. Sebab banyak faktor yang menyebabkan sebuah bisnis ritel bisa berjalan buruk.

"Itu harus dilihat secara holistik, misalnya yang sepi kan toko-toko saja, atau yang di mal dengan biaya sewa tinggi, dan sebagainya. Sementara di online modal kecil pun bisa," terang Zaky.

"Kemudian contoh mudahnya, orang di ujung Sabang bisa jualan kopi langsung ke pembeli yang berada di apartemen mewah di Jakarta. 5 Tahun lalu, tidak ada yang seperti itu. Jadi ada pergeseran perputaran ekonomi, karena di manapun orang sekarang bisa berjualan," imbuhnya.

Sementara Presiden Direktur PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE), Feriadi, menuturkan tren belanja online terus meningkat, yang bisa dilihat dari terus naiknya jasa pengiriman dari toko-toko online.

"Pertumbuhan jumlah pengiriman JNE mulai tahun 2010 sampai dengan akhir tahun lalu konsisten mencapai 30%, tahun ini pun diharapkan dapat tetap konsisten di angka tersebut. Saat ini jumlah pengiriman paket setiap bulannya rata-rata 16 juta paket. Sekitar 60%-70% pengiriman JNE adalah pengiriman e-commerce dari online marketplace," jelas Feriadi.

Jumlah paket yang disebutkannya itu hanya berasal dari toko e-commerce, dan belum menghitung paket jual beli online yang dilakukan lewat media sosial. (dna/dna)

Hide Ads