Kondisi tersebut tentu menimbulkan pertanyaan, ada apa sebenarnya dengan industri ritel. Masing-masing peritel memang memiliki alasan tersendiri.
Contohnya, PT Modern Sevel Indonesia (MSI) memutuskan untuk menutup seluruh gerai Sevel di Indonesia pada akhir Juni 2017 sebenarnya lantaran tak mampu bersaing lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, bagaimana dengan toko-toko ritel lainnya? Yuk, kita kupas satu per satu alasan mereka menutup gerai.
Sevel sebelumnya sangat bergantung pada penjualan bir serta beberapa makanan dan minuman. Semenjak Kementerian Perdagangan mengatur penjualan minuman beralkohol kinerja Sevel mulai merosot yang mulai terasa di 2016.
Usai mengalami kerugian, pada awal 2017 ada isu akuisisi 7-Eleven oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) yang merupakan entitas dari PT Charoen Pokphand Indonesia (CPI) Tbk. Kedua perusahaan tersebut telah menyepakati akuisisi dengan nilai Rp 1 triliun, kesepatakan tersebut tertuang dalam Conditional Sales Purchase Agreement (CSPA).
Namun, kabar akuisisi tersebut batal terealisasi dikarenakan adanya ketidaksepakatan. Informasi itu disampaikan oleh manajemen PT Modern Internasional Tbk (MDRN) sebagai induk usaha dari PT Modern Sevel Indonesia yang merupakan pemegang hak master franchise sevel di Indonesia melalui keterbukaan informasi, Senin (5/6/2017).
Pembatalan akusisi itu juga berujung pada informasi penutupan gerai 7-Eleven di Indonesia. Sang induk PT Modern International Tbk (MDRN) pun akhirnya mengibarkan bendera putih.
MDRN sepanjang 9 bulan di 2017 menderita kerugian komprehensif periode berjalan sebesar Rp 806,1 miliar. Angka itu meningkat 418,39% dari catatan rugi komprehensif periode berjalan kuartal III-2016 sebesar Rp 155,5 miliar.
MDRN mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp 189,6 miliar. Angka tersebut turun 71,3% dibanding penjualan bersih periode yang sama ditahun sebelumnya sebesar Rp 660,7 miliar.
Jika dilihat dari entitas usahanya, penurunan penjualan paling besar dari lini bisnis Sevel. Sepanjang 9 bulan tahun ini bisnis Sevel hanya membukukan penjualan bersih Rp 133,7 miliar, turun 74,6% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 526,2 miliar. Tidak jauh berbeda dengan Sevel, lini bisnis industrial imaging juga turun 41,6% dari Rp 134,5 miliar di kuartal III-2016 menjadi Rp 55,9 miliar.
Berbeda dengan MSI, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) menutup beberapa gerainya sebagai bagian dari strategi bisnis. Department Store milik Lippo Group itu menutup gerainya di Taman Anggrek, Pasaraya Manggarai dan Blok M lantaran cabang-cabang tersebut sepi pengunjung.
Matahari di cabang-cabang itu tak menuai untung bahkan cenderung merugi. Pendapatan yang didapat tak mampu menutupi beban operasional.
"Iya karena malnya yang sepi. Kami lebih memilih cut loss," kata Corporate Secretary & Legal Director LPPF, Miranti Hadisusilo kepada detikFinance.
Kepustusan tersebut dipercayai manajemen justru akan mneyehatkan keuangan perseroan. Meskipun laba bersih perseroan selama 9 bulan di tahun ini turun tipis 6,5% dari Rp 1,6 triliun dari periode yang sama di 2016 menjadi Rp 1,5 triliun.
Kendati begitu LPPF masih tetap melakukan ekspansi tahun ini. Perseroan melakukan pembukaan 2 cabang Matahari baru di Sumatera Selatan dan 1 gerai khusus Nevada di Pakuwon Mall, Surabaya.
Hampir sama dengan LPPF, PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) beralasan menutup seluruh gerai Lotus dan Debenhams lantaran sebagai bagiandari strategi bisnis. Namun, perusahaan yang memegang banyak isensi toko ritel teranama ini menilai pola konsumsi masyarakat mulai berubah, sehingga dibutuhkan steategi bisnsi yang baru.
Menurut Head of Corporate Communication PT Mitra Adiperkasa Tbk, Fetty Kwartati, keputusan penutupan dua toko tersebut diambil manajemen setelah mempertimbangkan perubahan tren ritel secara global. Apalagi, kata dia, perubahan gaya berbelanja dari offline ke online mulai merambah Indonesia.
"Di seluruh dunia, tren berbelanja generasi milenial telah beralih dari department store, dan memilih untuk berbelanja di gerai specialty store. Hal ini juga terjadi tidak terkecuali di Indonesia," katanya kepada detikFinance.
Sejalan dengan tren pasar saat ini, kata Fetty, emiten berkode MAPI itu akan terus berinvestasi pada bisnis Active, Fashion dan Food & Beverage. Indonesia juga melihat pertumbuhan signifikan industri e-Commerce yang berdampak pada offline store.
Menanggapi transisi digital itu, pihaknya juga telah meluncurkan gerai online, Map Emall. Perseroan akan fokus mengembangkan bisnis O2O tersebut.
Sementara PT Gilang Agung Persada beralasan menutup seluruh gerai GAP dan Banana Republic di Indonesia lantaran habisnya masa kontrak dengan GAP Inc.
"Itu kontraknya habis berbarengan dengan GAP Inc. Kita karena habis kontrak saja, semua berakhir Februari 2018," kata Brand Manager GAP Indonesia, Natasha Nasution saat dihubungi detikFinance.
Natasha menegaskan tutupnya GAP dan Banana Republic juga bukan berarti kinerja perusahaan melesu. Sebab pihaknya masih memiliki brand lain.
Dia juga mengatakan bahwa Gilang Agung Persada kini tengah fokus untuk mengembangkan brand-brand yang berkategori aksesoris fashion yang perputarannya cepat (fast moving fashion accessories).
Adapun lisensi distribusi yang dipegang perusahaan di antaranya Lasenza, Casio, VNC, Superdry, Gc, Nautica, Swarovski dan lainnya.
Meskipun, tak menyebut bahwa produk GAP dan Banana Republic tak masuk dalam kategori produk dengan perputaran yang cepat, namun dia memastikan bahwa penjualan GAP masih positif.
"Untuk sales tahun ini sebenarnya bagus. Compare ke tahun sebelumnya juga meningkat. Cuma memang karena kita sudah habis kontrak saja, bukan karena ekonomi lesu. Karena company kita tetap growing kok," tandasnya.
Badai tutup toko bukan hanya menimpa peritel besar, banyak pedagang-pedagang di Pasar Glodok dan WTC Mangga Dua yang juga melakukan penutupan toko. Penyebabnya lantaran kedua pusat perbelanjaannya itu sepi pengunjung, padahal kedua tempat itu dulunya sangat ramai dikunjungi.
Ken, salah seorang pedagang video game Pasar Glodok, mengatakan sepinya pengunjung terutama disebabkan karena menjamurnya pusat perbelanjaan dan jaringan gerai elektronik di banyak tempat, khususnya pinggiran kota.
"Online berpengaruh, tapi kecil sekali. Karena barang elektronik itu kadang tetap harus lihat barangnya. Masalah sepi di sini karena banyak sekali mal-mal sama toko elektronik. Sudah terlalu kebanyakan," ucap Ken kepada detikFinance ditemui di tokonya.
Menurut dia, banyaknya toko elektronik yang tutup di Glodok bukan hal yang aneh. Pasalnya, semakin hari penjualan semakin turun lantaran tak banyak orang yang datang ke Glodok.
"Jadi bukan karena online, tapi karena mal sudah banyak sekali di Jakarta. Anak saya sendiri kalau beli barang elektronik lebih suka ke Taman Anggrek, padahal lebih jauh, katanya karena lebih nyaman dan bisa cari hiburan," ujar Ken.
Sementara itu, Asisten Manager Pasar Glodok PD Pasar Jaya, Aswan, menuturkan menjamurnya gerai elektronik dan juga pusat perbelanjaan membuat Glodok perlahan mulai ditinggalkan pemburu barang elektronik.
"Zaman dulu kalau orang Bekasi, Jakarta, Tangerang kalau mau beli kulkas, televisi, atau elektronik lain kepikiran pertama pasti ke Glodok. Pokoknya beli elektronik ya ke Glodok, sekarang zaman sudah berubah," jelas Aswan.
Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan, berkembangnya teknologi serta seiring meningkatnya pendapatan masyarakat juga akan mengubah pola hidup, dan hal itu yang harus ditangkap oleh para pelaku sektor ritel agar tetap hidup.
Roy menjelaskan, seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat kelas menengah ke atas yang tinggi bersamaan dengan munculnya toko-toko online mampu mengubah pola hidup masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, hal itu hanya pemicu bukan menjadi alasan utama banyaknya toko toserba atau ritel yang tutup belakangan ini.
"Tutupnya itu yang utama karena mereka ingin rekstrukturisasi, bahwa siapapun bisnis yang tutup itu hal yang biasa, tapi dasar buka tutup itu kan karena revenue lebih kecil dari cost, kenapa? Karena yang belanja lebih kecil, konsumennya enggak berubah bahkan meningkat tapi yang dibelanjakannya makin kecil sehingga tidak berkontribusi terhadap revenue, nah itu yang kita sebut tutupnya bukan karena daya beli yang rendah, tapi masalah costumer behavior-nya berubah," kata Roy di Jakarta, Rabu 1 November 2017.
Dia menyebutkan, pelemahan sektor ritel juga telah terendus sejak 2015 atau pada saat awal pemerintahan kabinet kerja. Di mana, APBN-P yang telat dilakukan mempengaruhi juga proses pencairan dananya yang bisa dinikmati langsung oleh masyarakat untuk konsumsi.
Dia mengatakan, saat ini banyak perusahaan ritel yang tutup untuk mengubah format atau konsep seperti yang diinginkan para masyarakat. Misalnya, tidak hanya menyajikan kebutuhan pokok, melainkan menyediakan fasilitas atau layanan lain seperti tempat bermain anak, hingga kuliner.
"Jadi ada yang relokasi, bukan karena mereka menutup toko, tapi karena sudah tidak kondusif, atau karena rekstrukturisasi formatnya, bukan tutup karena perusahaan, karena memang sekarang dipikirkan perlu adanya bukan hanya pasar modern tapi juga departemen store, atau ada mainan anaknya, atau ada kulinernya," ungkap dia.
Selain itu, Roy mengatakan, pertumbuhan sektor ritel sampai semester I-2017 hanya sebesar 3,7% atau turun jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 6%. Bahkan disepanjang 2016 ritel tumbuh 9%.
"Ritel modern saat ini lagi underperform, Memang ritel dengan semester I tumbuh 3,7% tahun ini kita tutup dengan angka 7%, lebih rendah dari tahun lalu, mudah-mudahan saja bisa 7,5% karena semester I hanya 3,7%, berarti kalau semester II sama 3,7% maka baru 7,4% pertumbuhan ritel. Ini tentu menggambarkan ritel masih bertumbuh tapi melambat," ungkap dia.
Sementara transaksi sektor ritel yang berasal dari anggota Aprindo sepanjang 2016 dengan pertumbuhan 9% mencapai Rp 200 triliun. Sedangkan untuk tahun ini dengan proyeksi pertumbuhan yang sebesar 7% maka total transaksi sektor ritel hanya sekitar Rp 210 triliun.