Menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro per Desember 2017 jumlah proyek dalam pipeline PINA mencapai 34 proyek infrastruktur yang terdiversifikasi dalam empat sektor meliputi jalan tol, penerbangan, pembangkit dan transmisi listrik dan pariwisata dengan total nilai proyek sebesar Rp 348,2 triliun atau US$ 25,79 miliar.
Menurut Bambang pencapaian skema pembiayaan PINA dalam pipeline proyek infrastruktur tersebar di
seluruh Indonesia yang meliputi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
2) PT PJB-Pembangkit Listrik (2 proyek dengan total nilai proyek Rp 14,5 triliun/US$ 1.071 juta).
3) PT Indonesia Power-Pembangkit Listrik (6 proyek dengan total nilai proyek Rp 78,3 triliun/US$ 5.PT798
juta).
4) PT PLN-Transmisi Listrik (Total nilai proyek Rp 27,5 trilun/US$ 2.040 juta).
5) BIJB (Pengembangan Fase 2 dan Aerocity (2 proyek dengan total nilai proyek Rp 30 triliun/US$ 2.237
juta).
6) Bandara Kulon Progo DIY-PT Angkasa Pura 1 dan PT PP (Rp 6,7 triliun/US$ 495 juta).
7) Pesawat R-80- PT RAI (Rp 21,6 triliun/US$ 1.600 juta).
8) Pengembangan Area Terintegrasi Pulau Flores-Flores Prosperindo, Ltd. (Rp 13,5 triliun/US$ 1.000).
Bambang menambahkan, Kementerian PPN/Bappenas juga telah melakukan beberapa hal strategis untuk mendorong iklim investasi melalui skema PINA menjadi lebih baik.
"Untuk aspek regulasi misalnya, Kementerian PPN/Bappenas terus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan relaksasi dan harmonisasi regulasi mengenai isu-isu terhadap instrument investasi baru," kata Bambang dalam keterangan tertulis, Rabu (24/1/2017).
Koordinasi dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) juga dilakukan untuk membahas mengenai aturan pencatatan keuangan yang asimetris. Untuk aspek tata memperkuat tata kelola dan regulasi, beberapa hal yang dilakukan seperti mengembangkan rencana strategis dan pedoman tata kelola yang baik untuk PINA serta melakukan riset dan studi mengenai hal-hal yang berkaitan untuk memperkuat fungsi dan peran PINA dalam skema pembiayaan investasi.
"Kita juga terus melakukan forum sosialisasi PINA dengan berbagai pemangku kepentingan dan berkoordinasi dengan berbagai asosiasi untuk menggalang potensial investee dan investor," ujar Bambang.
Bambang menjelaskan skema pembiayaan PINA didesain untuk mengisi kekurangan pendanaan proyek-proyek infrastruktur prioritas yang membutuhkan modal besar, namun tetap dinilai baik secara komersial.
Untuk dapat menjalankan proyek-proyek ini, BUMN dan swasta pengembang infrastruktur harus memiliki kecukupan modal minimum. Selama ini permodalan BUMN ditopang dan sangat tergantung kepada anggaran pemerintah melalui Penanaman Modal Negara (PMN).
Saat ini, kata Bambang, ruang fiskal APBN semakin terbatas sehingga dibutuhkan sumber-sumber non-anggaran pemerintah dengan memanfaatkan dana kelolaan jangka panjang yang setengah menganggur seperti pada dana-dana pensiun dan asuransi baik dari dalam maupun luar negeri.
Bambang menjelaskan pembiayaan infrastruktur dengan skema PINA sangat urgent dalam rangka mengoptimalkan peran BUMN dan swasta dalam pembiayaan pembangunan.
"BUMN dan swasta dapat berperan dalam pemenuhan 58,7 persen atau sebesar Rp 2.817 triliun pada RPJMN 2015-2019," tutur Bambang. (dna/dna)