Hilangnya potensi penerimaan negara tersebut diketahui lantaran sejumlah kapal cantrang yang telah diukur ulang dan verifikasi di Tegal, memperlihatkan bahwa mayoritas kapal tersebut melakukan marked down atau pemalsuan ukuran kapal. Pemalsuan ukuran kapal dilakukan untuk meloloskan diri dari pembayaran PNBP hingga pajak.
Susi mengatakan, dari hasil analisis kepatuhan pajak 11 sampling pemilik kapal cantrang di Tegal terdapat tax gap atau penghasilan yang belum dilaporkan di SPT tahunan PPh sebesar Rp 20,58 miliar dalam periode 5 tahun pajak. Kapal cantrang yang ada di Tegal sendiri tercatat sebanyak 340 kapal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, dari hasil pendataan ukuran kapal, ditemukan bahwa 237 kapal cantrang yang didata ukurannya tidak sesuai dengan sebenarnya. Total selisih mark down dari kapal-kapal tersebut mencapai 12.584 GT. Hal ini membuat potensi kehilangan penerimaan negara bisa saja semakin besar.
"Total itu ada selisih mark down dari 237 kapal itu 12.584 GT ukuran yang tidak tercatat. Inilah realitanya," tutur Susi.
Selanjutnya, Susi bilang ada pula kerugian hilangnya sumber daya perikanan Indonesia dari hasil tangkapan yang diperoleh kapal-kapal cantrang ini. Pasalnya, setiap kapal cantrang diyakini akan membuang 500 kg hingga 1 ton hasil tangkapannya kembali ke laut dalam kondisi mati karena dianggap tidak memiliki nilai jual.
"237 kapal dikali setengah ton saja, 100 ton ikan dibuang tiap hari di tengah laut. Kalau nanti didata, ada 800 atau 1.000 kapal, dikali 2,5 ton ikan sehari, berapa ribu ton ikan dibuang di tengah laut. Karena alat tangkap cantrang itu pasti ada ikan yang dibuang, tidak semua dibawa pulang, terutama yang pakai freezer. Jadi kalau tangkapan banyak, bisa 1 ton dibuang ke tengah laut dalam kondisi mati. Inilah kenapa kita ingin mengalihkan mereka ke alat tangkap yang ramah lingkungan," pungkas Susi. (eds/zlf)