Dalam aturan tersebut ada beberapa pilihan instrumen yang bisa digunakan untuk mengelola dana haji. Instrumen dipilih sesuai prinsip syariah dengan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas.
Instrumen yang pertama ialah dalam bentuk produk perbankan syariah seperti giro, deposito berjangka, dan tabungan. Kemudian, sisanya dialokasikan untuk investasi, mulai dalam bentuk surat berharga, emas, investasi langsung, dan investasi lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk pengelolaan dana haji dalam bentuk penempatan pada perbankan syariah paling banyak 50% dari total penempatan dan investasi keuangan haji. Artinya, bila dana haji 2018 sebesar Rp 100 triliun, maka setengahnya atau sebanyak Rp 50 triliun bisa dimasukkan pada perbankan syariah.
Namun, setelah tiga tahun BPKH terbentuk, jumlah dana pengelolaan di perbankan syariah turun 20%. Penempatan produk perbankan syariah paling banyak 30% dari total penempatan dan investasi keuangan haji.
Sisa dana haji tersebut, kemudian bisa dimasukkan dalam bentuk Investasi langsung paling banyak 20%, investasi lainnya paling banyak 10%, kemudian 5% dana dialokasikan ke instrumen investasi emas, dan sisanya masuk di surat berharga syariah negara (SBSN).
Namun Anggito mengaku saat ini pihaknya masih menyusun rencana yang tepat dalam mengelola dana haji tersebut. Dia masih belum bisa merinci bakal seperti apa mengelola dana haji itu nantinya.
"Ya kita nggak tahu karena ini kan PP-nya masih dipelajari, kemudian kita masih susun rencana, baru mau dibahas dengan dewan rencana, dan masih harus dibawa ke DPRD," kata Anggito kepada detikFinance, Jakarta, Jumat (2/3/2018).
Anggito memperkirakan pihaknya bisa selesai melakukan semua perencanaan ini pada akhir Maret 2018. Dengan begitu, maka dana haji yang diperkirakan mencapai Rp 100 triliun tersebut bisa dikelola. (fdl/zul)