Rupiah Menahan Gempuran Dolar AS, Mungkinkah Tembus Rp 14.000?

Rupiah Menahan Gempuran Dolar AS, Mungkinkah Tembus Rp 14.000?

Eduardo Simorangkir - detikFinance
Selasa, 06 Mar 2018 08:31 WIB
1.

Rupiah Menahan Gempuran Dolar AS, Mungkinkah Tembus Rp 14.000?

Rupiah Menahan Gempuran Dolar AS, Mungkinkah Tembus Rp 14.000?
Foto: Tim Infografis, Fuad Hasim
Jakarta - Nilai tukar dolar terus menguat terhadap rupiah hingga berada di kisaran Rp 13.700-an. Mata uang Paman Sam itu terus menguat sejak menyentuh level Rp 13.427 di awal Februari, dan kini terus menguat hingga ke angka Rp 13.750-an.

Tren ini dipengaruhi oleh sentimen eksternal yang dipicu oleh rencana kenaikan suku bunga bank sentral AS menyusul pidato Gubernur the Fed Jerome Powell. Kepala Riset Ekuator Swarna Sekuritas David Sutyanto memprediksi, pelemahan nilai tukar rupiah akan mencapai puncaknya saat penyelenggaraan Federal Open Market Committee (FOMC) oleh Bank Sentral AS The Fed semakin dekat di medio Maret mendatang.

Pelemahan nilai tukar rupiah sendiri juga dialami oleh negara-negara di dunia lainnya yang selama ini juga cenderung lemah terhadap mata uang AS, terutama di negara-negara Asia. Indonesia sendiri dianggap masih cukup kuat menahan gempuran sentimen eksternal dari AS karena memiliki kondisi fundamental ekonomi yang kuat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas bagaimana para pelaku usaha menyikapi tren pelemahan rupiah terhadap mata uang paman Sam tersebut? Simak dulu fakta lengkap seputar pelemahan nilai tukar rupiah berikut:

Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati pelemahan nilai tukar rupiah saat ini belum mengkhawatirkan.

"Ya Insya Allah kalau kita lihat sisi faktor penyebab yang dari luar dan kalau itu merupakan sesuatu kebutuhan untuk mereka yang membutuhkan transaksi dolar, kita tidak melihat ada alasan yang mengkhawatirkan. Artinya alasan untuk kemudian untuk membeli dolar, kita anggap fundamental masih tetap konsisten baik," katanya saat ditemui di Istana Negara, Jakarta, Senin (5/3/2018).

Sri Mulyani mengatakan belum ada rencana perubahan nilai tukar rupiah dalam asumsi makro APBN 2018, yang sebesar Rp 13.400/US$. Perubahan terjadi jika sudah melewati pembahasan di DPR.

Sementara itu Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah belum berdampak pada industri yang bahan bakunya impor. Meski belum berdampak pada industri, Airlangga mengatakan pemerintah tetap waspada.

"Baru sebentar (belum terdampak), kita lihat perkembangannya ya. Inikan baru terbatas, tetapi tentu penguatan dolar dan ini perlu kita waspadai juga karena yang paling pentingkan bagi ekonomi itu kestabilan," kata Airlangga di Istana Negara.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan pelemahan rupiah ini menguntungkan ekspor. Namun, dirinya yakin nilai tukar bisa kembali pulih.

"Kalau untuk ekspor menguntungkan. Kita bersyukur, nggak lah. Inikan sesaat lah. Tapi ini sudah recover lagi," kata Enggar.

Hal itu dikonfirmasi oleh kalangan pengusaha yang diwakili oleh Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno. Dia bilang, pelemahan tersebut menguntungkan eksportir karena biaya produksi menggunakan rupiah. Sementara, ketika barang diekspor pengusaha mendapat penghasilan dalam bentuk dolar.

"Setiap pelemahan rupiah, eksportir yang khususnya biaya produksi dalam rupiah, karena ekspor incomenya dolar, selalu diuntungkan," katanya.

Namun tak selamanya menyenangkan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani malah mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga memberatkan para pengusaha.

"Iya bikin pusing kepala juga nih. Ya, kalau terus-terusan repot juga, karena yang diperlukan kestabilan nilai tukar. Kalau cenderung fluktuatif gini bisa menimbulkan salah perhitungan, salah cost kalkulasi dalam perhitungan bisnis secara keseluruhan," terang Hariyadi.


Nilai tukar dolar terhadap rupiah yang saat ini terus tertekan hingga berada di kisaran Rp 13.750 dianggap sebagai momen yang tepat untuk menjual mata uang tersebut.

"Kalau saya melihat, bagus jual sekarang daripada ditahan. Kemungkinan indeks dolar untuk lewat dari evaluasi ada. Tapi hasil keuntungan yang didapat dari menahan dolar itu akan lebih merugikan diri kita sendiri kalau nanti rupiahnya makin melemah signifikan," kata Kepala Riset Ekuator Swarna Sekuritas David Sutyanto.

Untuk itu, dia mengatakan bagi masyarakat yang ingin membeli dolar bisa menunda terlebih dahulu untuk membantu peningkatan valuasi rupiah terhadap dolar. David sendiri memprediksi, rupiah akan terus tertekan menuju penyelenggaraan Federal Open Market Committee (FOMC) oleh Bank Sentral AS The Fed di minggu ketiga Maret ini.

"Sentimen akan masih berlangsung menekan ke kita. Karena di Amerika sekarang ekonominya agak agresif. Kalau agresif kan pasti akan tekan mata uang yang lain. Dan ini juga bukan hanya terjadi di Indonesia saja, tapi mata uang negara lain juga sama," katanya.

Namun menurutnya nilai tukar rupiah terhadap dolar tak bakal tertekan hingga lebih dari angka Rp 14.000. Pasalnya, kondisi fundamental ekonomi dalam negeri dianggap cukup kuat menahan gempuran sentimen kebijakan penaikan suku bunga yang akan dilakukan Amerika Serikat (AS).

"Jadi harusnya nothing to worry. Tapi memang kondisinya masih menekan kita. Ekspektasi kami sih tak lebih dari di kisaran Rp 13.900-an lah. Jangan sampai lewat dari Rp 14.000," ucapnya.

"Jadi menurut saya, kalau masyarakat mau jual dolar, ya bagusnya jual sekarang. Karena dengan jual dolar sekarang membantu pemerintah meningkatkan valuasi rupiah terhadap dolar," pungkasnya.


Para analis sempat memprediksi, terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) saat pemilu Presiden pada 2014 silam bisa memicu menguatnya nilai tukar (kurs) rupiah hingga ke level Rp 10.000 per US$. Namun hingga saat ini, prediksi tersebut tak kunjung terealisasi bahkan malah melemah hingga ke kisaran Rp 13.700-an.

Kepala Riset Ekuator Swarna Sekuritas David Sutyanto mengatakan, prediksi tersebut tak bisa terealisasi lantaran cateris peribus atau asumsi ekonomi yang dilakukan ekonom terbantahkan lantaran sejumlah asumsi yang diprediksi tetap sama malah berubah.

"Itu kan kita berikan klaim istilahnya cateris paribus, yaitu dengan anggapan variabel lain tidak berubah. Unexpected-nya (yang tidak diharapkan) kan yang terjadi, Donald Trump (jadi Presiden AS) dan the Fed jadi agresif. Itu yang menyebabkan target-target para analis kemarin itu tidak tercapai," katanya.

Dengan kondisi global yang dinamis seperti sekarang ini, David bilang akan sangat kecil kemungkinannya prediksi nilai tukar dolar bisa menyentuh angka Rp 10.000. Sentimen terbesar yang mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar adalah kebijakan ekonomi AS yang saat ini sangat agresif di bawah kepemimpinan Donald Trump.

"Begitu Donald Trump naik saja itu (prediksi) sudah tidak berlaku. Karena waktu itu anggapannya kan yang jadi Presiden AS adalah yang seperti Obama yang kebijakannya cenderung pasif. Sekarang kan kebijakannya ekspansif sekali untuk ke luarnya," jelas David.

David sendiri beranggapan nilai tukar rupiah terhadap dolar bisa bertengger di kisaran Rp 11.000 jika kebijakan ekonomi AS tak seagresif saat ini. Namun dengan kondisi yang ada saat ini, menurutnya rupiah bisa bertahan di kisaran Rp 13.000 dalam kondisi stabil.

"Tapi dengan kondisinya seperti sekarang ini, kalau kondisi semua mata uang global lemah terhadap US, saya tidak mengharapkan rupiah menguat sendirian. Menjadi anomali. Mau tidak mau, rupiah harus sejalan dengan mata uang yang lain," katanya.

"Kalau menurut saya, rupiah bisa stabil di level 13.000-an itu masih terjaga. Itu karena rupiah sendiri ada catatan karena The Fed yang mau naikkan suku bunga, jadi capital outflow juga terjadi," pungkasnya.

Hide Ads