Acuan tersebut seperti kurang relevan bila diterapkan di Indonesia.
"Karena menurut kajian terbaru international monetary fund (IMF), rasio utang 60% terhadap PDB lebih relevan bila diterapkan pada negara maju," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira kepada detikFinance, Rabu (14/3/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, mengacu kajian yang sama, kata Bhima, acuan batas rasio utang bagi negara berkembang seperti Indonesia adalah 40% terhadap PDB.
"Jadi kalau Indonesia masih pakai acuan 60% itu sepertinya enggak nyambung. Nggak nyambung ekonomi RI disamakan dengan ekonomi negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang yang industrinya sudah sangat maju," jelas dia.
Bhima juga menambahkan, rasio utang RI yang 29,2% juga tak bisa dibandingkan dengan rasio utang pemerintah Jepang yang 200% lebih apa lagi rasio utang AS.
"Karena gini, Jepang itu surat utangnya hampir 80% dipegang oleh masyarakatnya sendiri. Jadi dia mau dia rasio utangnya 1.000%, itu nggak masalah. Kalau mereka krisis, surat utangnya tinggal dicairkan, uangnya beredar lagi di dalam negeri," sebut dia.
"Kalau Indonesia, utang itu sebagian besar ke asing. Jadi wajar kalau terjadi gejolak seperti the Fed kemarin, ada risiko tersendiri bagi Indonesia yang bikin nilai tukarnya (rupiah terhadap dolar AS) mudah terpengaruh," sambungnya.
Pelemahan rupiah bisa memberikan risiko fiskal. Karena, utang yang dalam bentuk dolar bisa membuat nilai utang bila dirupiahkan akan membengkak saat terjadi gejolak yang tentu saja bisa meningkatkan risiko gagal bayar utang pemerintah.
Dengan acuan tersebut, Bhima menyarankan agar pemerintah mulai menaruh perhatian lebih terhadap kondisi utang saat ini. (dna/ang)