Jumlah utang pemerintah per Februari tahun ini juga tumbuh 13,46% jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan per akhir 2017 maka terjadi kenaikan Rp 96,4 triliun.
Lalu bagaimana fakta seputar utang pemerintah yang tembus Rp 4.034,8 triliun?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rincian Utang
Foto: Tim Infografis: Andhika Akbarayansyah
|
Dalam keterangan tersebut dijabarkan bahwa utang pemerintah sebesar Rp 4.034,80 triliun tersebut terbagi dalam pinjaman luar negeri yang mencapai Rp 771,76 triliun dalam bentuk pinjaman bilateral Rp 331,24 triliun, pinjaman multilateral Rp 396,02 triliun, pinjaman komersial Rp 43,32 triliun dan pinjaman suppliers Rp 1,17 triliun.
Sementara pinjaman dalam negeri tercatat sebesar Rp 5,78 triliun.
Di sisi lain, tercatat juga utang dalam bentuk surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 3.257,26 triliun yang terdiri dari SBN dalam denominasi rupiah sebesar Rp 2.359,47 triliun dan Rp 897,78 triliun.
Catatan total utang tersebut setara dengan 29,24% terhadap PDB.
Perbandingan Dengan Negara Lain
Foto: Mindra Purnomo
|
Bagaimana dengan negara lain?
Mengutip data dari situs Kementerian Keuangan, berjudul APBN Kita, total utang terhadap PDB RI tergolong rendah.
Hal tersebut karena dibandingkan dengan total utang terhadap PDB berbagai negara dengan tingkat ekonomi yang setara dengan Indonesia atau peer countries.
Begini datanya:
Vietnam 63,4 persen,
Thailand 41,8 persen,
Malaysia 52,7 persen,
Brasil 81,2 persen,
Nikaragua 35,1 persen,
Irlandia 72,8 persen.
Buat Apa Saja?
Foto: Grandyos Zafna
|
Dalam APBN Kita hingga Februari 2018 disebutkan salah satunya untuk membiayai berbagai program pemerintah terkait dengan bidang struktural dan sektoral, seperti bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, dan infrastruktur.
Utang ini berasal dari pinjaman luar negeri yang berasal dari kreditur multilateral. Biasanya pinjaman multilateral ini biayanya relatif lebih murah dibandingkan dengan pinjaman komersial.
Di samping itu juga, pinjaman ini juga memiliki lebih banyak keuntungan seperti adanya alih teknologi serta sharing knowledge dan expertises.
Sedangkan utang yang berasal dari SBN, dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan, mengembangkan pasar keuangan melalui pendalaman pasar modal di Indonesia.
Berbagai literatur dan kajian menyebutkan bahwa pasar keuangan yang berkembang pesat di suatu negara akan sangat berperan dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian negara tersebut, melalui kontribusinya terhadap komponen-komponen pembentuk PDB.
Pengembangkan pasar keuangan secara inklusif melalui penjualan SBN ritel ke masyarakat, selain untuk mengajak masyarakat agar sadar berinvestasi juga untuk mendukung proyek pembangunan nasional secara langsung.
Ada Utang Masa Lalu
Foto: Fadhly Fauzi Rachman/detikFinance
|
Utang pemerintah per Februari 2018 telah tembus Rp 4.034,8 triliun atau naik 13,46% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dengan angka tersebut maka rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 29,24%.
Darmin mengatakan rasio utang pemerintah yang sebesar 29,24% tersebut masih rendah dibandingkan dengan negara berkembang yang setara dengan Indonesia, seperti Malaysia, Brasil, Thailand, dan Vietnam.
"Kalau dibilang 29% itu kan memang angka agregat, tapi angka yang lebih akurat sebenarnya berapa pembayarannya dibandingkan dengan ekspor kita itu sudah lebih spesifik gitu, berapa pembayaran utang kita, jangan lupa pembayaran utang kita itu memang utang masa lalu ya pembayarannya cukup besar, sehingga beberapa waktu kita itu sempat membayar utang lebih besar dari pinjem utang," kata Darmin di Komplek Istana, Jakarta.
Darmin mengungkapkan rasio utang terhadap PDB juga merupakan indikator yang digunakan seluruh negara di dunia. Rasio
Rasio utang negara yang ekonominya setara dengan Indonesia, seperti Vietnam sebesar 63,4%, Thailand sebesar 41,8%, Malaysia sebesar 52,7%, Brasil sebesar 81,2%, Nikaragua sebesar 35,1%, dan Irlandia sebesar 72,8%.
Dia menjelaskan, rasio utang Indonesia yang sebesar 29,2% juga masih sangat kecil dibandingkan dengan Jepang yang sudah mencapai 200%. Risikonya juga lebih besar Jepang meskipun kepemilikannya didominasi oleh masyarakatnya.
"Kita tidak melihat, tidak pernah merasa kesulitan untuk membayar bunga dan jatuh temponya berjalan saja dengan baik, itu BI dipotong saja dari rekeningnya pemerintah di sana, nggak ada masalah," kata dia.
Jumlah Utang Sudah Berbahaya?
Foto: Tim Infografis, Fuad Hasim
|
Direktur Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, hal tersebut bisa saja berbahaya jika melihat dari porsi kepemilikan surat utang yang diterbitkan pemerintah selama ini.
Enny bilang, porsi kepemilikan surat utang Indonesia oleh asing saat ini yang sebesar 40% bisa mengancam semakin melemahnya nilai tukar saat adanya aksi ambil untung oleh asing sebab dari faktor menguatnya dolar.
"Sebenarnya kalau yang megang itu orang asing, risikonya ya hampir sama dengan utang luar negeri. Bedanya nanti beban bunga dan cicilan kalau dolarnya naik, itu kan menjadi besar. Tapi kalau yang pegang asing, porsinya kan seperti yang kemarin aksi profit taking, bareng-bareng keluar, cabut, sehingga itu yang memperlemah dolar," kata Enny kepada detikFinance saat dihubungi.
Utang luar negeri Indonesia sendiri diklaim aman lantaran didominasi utang jangka panjang. Porsi utang luar negeri jangka panjang mencapai 85,7%, sedangkan yang berjangka pendek hanya 14,3% (data per akhir 2017).
Namun demikian, pertumbuhan utang jangka pendek tercatat cukup tinggi yaitu 19,8% secara tahunan dan 10,8% secara bulanan. Pertumbuhan tersebut di atas utang jangka panjang yang naik 7,5% secara tahunan dan 3,9% secara bulanan.
Porsi 40% kepemilikan asing terhadap surat utang yang diterbitkan Indonesia juga semakin mencemaskan jika fundamental ekonomi dalam negeri tidak stabil. Untuk itu, melemahnya rupiah bisa membuka ruang lebih besar bagi asing untuk melakukan aksi ambil untung.
"Artinya ruang untuk spekulasi itu terbuka karena ekonomi kita masih sangat tergantung terhadap dolar tadi. Itu namanya risiko fiskal. Kalau utangnya naik, berarti kebutuhannya tinggi. Itu yang menyebabkan ruang untuk spekulasi terbuka," kata dia.
Bisa Dibayar
Foto: Grandyos Zafna
|
Hal itu diungkapka oleh Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan, Kementerian Keuangan Scenaider Siahaan.
"Bisa bayar nggak? Bisa! Sangat bisa dan aman," kata dia di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta.
Menurutnya, tak perlu takut dengan besarnya utang pemerintah yang sudah menyentuh angka Rp 4.000 triliun. Karena , bila dihitung besaran cicilannya masih tergolong kecil bila dibandingkan dengan penerimaan negara setiap tahunnya.
Karena, menurut data yang dimilikinya, dari total utang yang mencapai Rp 4.034,8 triliun itu, masa jatuh temponya adalah sekitar 9 tahun.
Dengan acuan tersebut, menurut perhitungannya, besaran cicilan utang pemerintah adalah sebesar Rp 405 triliun/tahun.
"Struktur jatuh temponya, ini kita hampir 9 tahun lah. Utang rata-rata sepanjang 9 tahun, setiap tahun yang dibayar dari Rp 4.000 triliun dibagi 9 tahun ya. Sekitar Rp 450 triliun, itu setiap tahun akan dibayar," sebut dia.
Sementara, berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan negara di tahun 2017 mencapai Rp 1.659,9 triliun atau 95,6% dari target APBN-P 2017.
Artinya, besaran cicilan utang pemerintah yang sekitar Rp 450 triliun masih sekitar 27,11% terhadap penerimaan negara yang bersumber dari pajak dan non pajak.
Halaman 2 dari 7