Awal Januari 2018, rupiah bisa bertengger di level Rp 13.300 per dolar AS. Namun awal Maret 2018, terus terdepresiasi hingga 13.800 per dolar AS.
"Pelemahan nilai tukar rupiah ini harus diwaspadai oleh banyak pihak. Memang tak dipungkiri, pengaruh global khususnya dari kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral, sangat berpengaruh. Tapi ini juga menunjukkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia tidak terlalu kuat," kata Wakil Ketua DPR Bidang Ekonomi dan Keuangan Taufik Kurniawan di Jakarta, Sabtu (17/3/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Sudah 16 Hari Dolar AS di Atas Rp 13.700 |
Selain itu, deregulasi untuk memberikan stimulan kepada dunia usaha, sehingga semakin menarik investasi. Selain itu, daya beli harus diperkuat, melalui berbagai bantuan sosial.
Taufik menilai, pelemahan rupiah ini tentunya berbahaya bagi industri berorientasi ekspor, namun masih mengandalkan bahan baku impor. Karena harus membeli bahan baku dengan biaya yang tinggi.
"Imbasnya, ini menjadi simalakama bagi pengusaha. Mau menaikkan harga jual, atau bahkan PHK kepada karyawan. Ini justru menimbulkan permasalahan baru," kata Taufik.
Baca juga: Mungkinkah Dolar AS Tembus Rp 15.000? |
Sebelumnya, Senior Director Corporate Ratings Standard and Poor's (S&P), Xavier Jean mengatakan, rupiah perlu diawasi jika mencapai level ini. Dia menambahkan, depresiasi bisa berlangsung cepat. Dia mencontohkan pelemahan nilai tukar rupiah pada 2015. Saat itu, rupiah melemah dari Rp 12.000 ke Rp 15.000 hanya dalam hitungan beberapa bulan. (nwy/hns)