Sri Mulyani Respons Heboh Utang Indonesia Rp 4.000 Triliun

Sri Mulyani Respons Heboh Utang Indonesia Rp 4.000 Triliun

Fadhly F Rachman - detikFinance
Sabtu, 24 Mar 2018 15:20 WIB
Sri Mulyani Respons Heboh Utang Indonesia Rp 4.000 Triliun
Foto: Dok. Kementerian Keuangan
Jakarta - Utang pemerintah Indonesia yang menembus angka Rp 4.034,80 triliun pada Februari 2018 menjadi buah bibir. Utang sebesar itu adalah utang pemerintah, di luar swasta

Nilai utang tersebut dikhawatirkan mengganggu kedaulatan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjawab kehebohan utang pemerintah tersebut.

Sri Mulyani menilai perhatian seluruh pihak terhadap utang menjadi masukan baginya selaku pengelola keuangan negara untuk terus waspada. Dalam siaran persnya, Jumat (23/3/2018) lalu, Sri Mulyani menjelaskan secara gamblang kepada masyarakat terkait utang pemerintah yang menembus angka Rp 4.000 triliun lebih tersebut. Berikut penjelasan Sri Mulyani :
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengingatkan kekhawatiran soal utang yang berlebihan justru bisa mengurangi produktivitas masyarakat.

"Kita perlu mendudukkan masalah agar masyarakat dan elit politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif," kata Sri Mulyani dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (24/3/2018).

"Kecuali kalau memang tujuan mereka yang selalu menyoroti masalah utang adalah untuk membuat masyarakat resah, ketakutan dan menjadi panik, serta untuk kepentingan politik tertentu. Upaya politik destruktif seperti ini sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun," sambungnya.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa sejatinya utang merupakan salah satu instrumen kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara dan perekonomian. Dia bilang, utang bukan merupakan tujuan dan bukan juga satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian.

"Dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan Pemerintah, banyak komponen lain selain utang yang harus juga diperhatikan. Misalnya sisi aset yang merupakan akumulasi hasil dari hasil belanja Pemerintah pada masa-masa sebelumnya. Nilai aset tahun 2016 (audit BPK) adalah sebesar Rp 5.456,88 triliun," kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengatakan, nilai tersebut belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara mulai dari tanah, gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lainnya.

"Hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40% aset negara menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen dari Rp 781 triliun menjadi Rp 2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp 1.867 triliun. Tentu nilai ini masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017," jelasnya.

Dari contoh tersebut, Sri Mulyani mengingatkan agar masyarakat agar bisa memahami dengan jelas permasalahan utang yang saat ini ramai dibicarakan tersebut. Hal itu agar, masyarakat tak khawatir secara berlebihan melihat nilai utang pemerintah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengajak semua pihak mendudukkan masalah utang dalam konteks seluruh kebijakan ekonomi dan keuangan negara. Sebab, utang adalah salah satu instrumen kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara dan perekonomian.

Di sisi lain, utang bukan merupakan tujuan dan bukan pula satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian.

Sri Mulyani juga menyoroti pihak-pihak yang kerap membandingkan utang dengan belanja modal atau bahkan dengan belanja infrastruktur, kurang memahami dua hal.

Pertama, belanja modal tidak seluruhnya berada di Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat, namun juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Dana transfer ke daerah yang meningkat sangat besar, dari Rp573,7 triliun pada 2015 menjadi Rp766,2 triliun pada 2018, sebagian yaitu sebesar 25 persen diharuskan merupakan belanja modal, meski belum semua Pemerintah Daerah mematuhinya.

Kedua, dalam kategori belanja infrastruktur, tidak seluruhnya merupakan belanja modal, karena untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masuk dalam belanja barang.

"Oleh karena itu, pernyataan bahwa 'tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya' adalah kesimpulan yang salah," tegas Sri Mulyani dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (24/3/2018)

Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang memiliki undang-undang yang menjaga disiplin anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dan konsisten menjalankannya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan disiplin fiskal pemerintah ditunjukkan dengan kepatuhan terhadap besaran defisit dan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB).

Menurut Sri Mulyani, pengelolaan APBN yang hati-hati dan baik menghasilkan perbaikan dalam bentuk menurunnya imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) berjangka 10 tahun dari 7,93% pada 2016 menjadi 6,63% pada pertengahan Maret 2018. Namun, Sri Mulyani mengatakan disiplin fiskal bukan berarti alergi terhadap utang.

"Disiplin fiskal tidak berarti kita menjadi ketakutan dan panik atau alergi terhadap instrumen utang. Kita harus tetap menjaga instrumen tersebut sebagai salah satu pilihan kebijakan dalam mencapai tujuan pembangunan," kata Sri Mulyani dalam keterangan tertulis dikutip Sabtu (24/3/2018).

Dia menjelaskan, utang bukanlah satu-satunya instrumen kebijakan. Ada instrumen lain yang sangat penting seperti pajak dan cukai serta penerimaan bukan pajak, instrumen belanja dan alokasinya.

Kemudian ada kebijakan perdagangan dan investasi, kebijakan ketenagakerjaan, kebijakan pendidikan dan kesehatan, serta kebijakan desentralisasi dan transfer ke daerah.

"Semua instrumen kebijakan tersebut sama pentingnya dalam pencapaian tujuan pembangunan, mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keadilan," imbuh dia.

Mantan Direktur Bank Dunia ini menyebutkan seluruh kebijakan juga harus sama-sama bekerja efektif dan keras agar tujuan nasional tercapai. Saat ini pemerintah telah melakukan reformasi perpajakan secara serius, karena pemerintah sadar bahwa pajak merupakan tulang punggung negara.

Untuk itu, pemerintah juga serius memperbaiki iklim investasi, agar investasi dan daya kompetisi ekonomi dan ekspor Indonesia meningkat yang diharapkan bisa menghasilkan kemudahan investasi dan menjadi tempat investasi paling menarik di Indonesia.

Utang Indonesia tercatat tembus Rp 4.000 triliun lebih. Banyak kalangan yang menyampaikan analisis dan bahan kritikan terkait jumlah utang yang nilainya semakin besar ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menyampaikan terima kasih terkait banyaknya analisis, masukkan dan kritikan kepada pemerintah terkait utang.

"Sebagai Menteri Keuangan, saya berterima kasih atas berbagai analisis, masukan dan bahkan kritikan yang bertujuan untuk menjaga kesehatan keuangan negara dan memperbaiki kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan sesuai cita-cita kemerdekaan kita," kata Sri Mulyani dalam keterangan tertulis Sabtu (24/3/2018).

Sri Mulyani mengajak masyarakat agar bersama-sama untuk menjaga keuangan negara secara konstruktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara berkeadilan. Karena APBN uang kita semua.

Dia menjelaskan, kalangan yang menyoroti instrumen utang tanpa meihat konteks besar dan upaya arah kebijakan pemerintah. Namun memberi analisis dan masukan yang tidak lengkap bisa menyesatkan.

Hal ini karena sebagai warga negara tidak akan mampu melihat permasalahan dan potensi ekonomi Indonesia. "Lebih buruk, kita dapat mengerdilkan pemikiran dan menakut-nakuti masyarakat untuk tujuan negatif bagi bangsa sendiri, itu bukan niat terpuji tentunya," ujar dia.

Utang digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan perbaikan pendidikan dan kesehatan serta jaminan sosial, baru akan menuai hasil jangka menengah. Misalnya, perbaikan kurikulum pendidikan baru terlihat saat anak-anak menyelesaikan proses pendidikan untuk SMA sekitar 12 tahun dan pendidikan tinggi 16 tahun.

"Kritikan untuk pemerintah yang dinilai tidak memberi hasil memuaskan saat ini, jelas tidak mempertimbangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses konstruksi infrastruktur," kata dia.

Dia menjelaskan, pemerintah selalu mendengarkan anjuran bahwa harus meningkatkan efektivitas kebijakan, mempertajam berbagai pilihan dan prioritas kebijakan dan memperbaiki tata kelola serta proses perencanaan.

"Serta terus memerangi korupsi agar setiap instrumen kebijakan dapat menghasilkan dampak positif yang nyata dan cukup cepat," imbuhnya.

Hide Ads