Misalnya kebijakan penurunan tarif tol, lalu jumlah penerima bantuan sosial dalam program keluarga harapan (PKH) yang terus naik, penambahan subsidi energi, hingga penambahan tugas penyaluran BBM premium kepada Pertamina dan kewajiban persetujuan pemerintah akan kenaikan harga BBM non subsidi.
Pengamat politik Igor Dirgantara mengatakan kebijakan-kebijakan populis yang diambil Jokowi dalam beberapa waktu terakhir adalah strategi Jokowi dalam memenangkan pemilihan Presiden 2019. Menurutnya, hal itu adalah hal biasa yang dilakukan seorang petahana yang ingin mempertahankan kedudukannya sebagai Presiden agar bisa menuntaskan seluruh program dan janji-janji yang diusung, dalam hal ini yang diusung adalah Nawacita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalahnya adalah, benarkah kebijakan tersebut diambil berdasarkan kajian yang jelas dan efektif, atau hanya berdasarkan hitungan politik saja?
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira mengatakan kebijakan-kebijakan yang diambil Jokowi mengonfirmasi adanya pelemahan dalam ekonomi masyarakat Indonesia. Pasalnya seluruh kebijakan tadi bertujuan meringankan beban masyarakat.
Hal ini dianggap menjadi respons dari survei yang memang menyatakan elektabilitias Jokowi dalam bidang ekonomi masih cukup rendah.
"Ini semua seakan-akan konsumsi masyarakat didorong tapi tanpa ada perencanaan yang jelas. Jadi saya kira dalam praktiknya nanti juga tidak terlalu efektif. Apalagi sekarang sampai swasta menaikkan harga BBM-nya harus minta izin dulu. Itu nggak tepat," katanya saat dihubungi secara terpisah.
Bima mengatakan, kebijakan-kebijakan populis tersebut seharusnya didorong sejak awal sehingga tak terlebih dahulu menimbulkan distorsi ekonomi di masyarakat. Padahal sebelumnya pemerintah melakukan kebijakan tak populis seperti pencabutan subsidi listrik untuk golongan 900 Va, yang ternyata mengganggu perekonomian masyarakat bawah.
"Jadi mulai dari pencabutan listrik 900 Va itu dampaknya ternyata ke mana-mana, sampai ke ritel dan daya beli masyarakat. Itu tapi tidak diakui 2017 daya beli masyarakat menurun. Sekarang jelang tahun pemilu, pastinya itu akan berpengaruh ke elektabilitas," katanya.
Populis atau tidaknya kebijakan pemerintah saat ini, pemerataan pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih belum terjadi seperti yang diharapkan. Hal tersebut terkonfirmasi dari angka kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia yang jelas masih tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini mencapai 26,58 juta orang atau 10,12% pada September 2017. Meski ada penurunan, namun tingkat ketimpangan di Indonesia saat ini belum banyak berkurang, di mana kemiskinan masih terpusat di Indonesia bagian Timur, yakni Maluku dan Papua dengan persentase 21,23%.
"Pasti hitung-hitungannya jadinya hitungan politik untuk selamatkan elektabilitas. Karena memang yang paling lemah itu elektabilitas ekonominya. Dari politik, hukum, keamanan masih oke, kecuali ekonomi," tutup Bima.