Jakarta -
Menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2019, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melahirkan sejumlah kebijakan baru yang populis. Kebijakan populis artinya kebijakan yang disukai masyarakat karena pemimpin melakukan kebijakan yang berpihak langsung kepada rakyat kebanyakan, bukan pada elit ataupun pemerintahan.
Kebijakan ini lantas menimbulkan tanda tanya lantaran benarkah bahwa kebijakan tersebut diambil berdasarkan kajian yang jelas dan efektif, atau hanya berdasarkan hitungan politik saja. Hal ini mengingat keputusan yang diambil Jokowi dilakukan di tahun politik atau dua tahun jelang pilpres 2019.
Kebijakan tersebut di antaranya rencana penurunan tarif tol, lalu anggaran dan jumlah penerima bantuan sosial dalam program keluarga harapan (PKH) yang ditambah, penambahan subsidi energi, hingga penambahan tugas penyaluran BBM premium kepada Pertamina dan kewajiban persetujuan pemerintah akan kenaikan harga BBM non subsidi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat politik Igor Dirgantara mengatakan kebijakan-kebijakan yang diambil Jokowi, baik populis maupun tidak adalah hak Jokowi sebagai Presiden. Hal ini adalah sesuatu yang wajar dilakukan seorang petahan dalam mempertahankan posisinya memenangkan pemilihan Presiden selanjutnya.
Namun, jika dilihat dari jenis kebijakan yang diambil Jokowi, ada indikasi terjadinya pelemahan ekonomi pada masyarakat. Benarkah? Berikut ulasan selengkapnya:
Kebijakan populis pertama yang dilakukan Jokowi adalah menambah anggaran dan jumlah penerima bantuan sosial dalam program keluarga harapan (PKH).
Jokowi menginstruksikan agar dana PKH ditingkatkan hingga dua kali lipat pada 2019 dan jumlah penerimanya juga naik menjadi 10 juta penerima. Cara ini dianggap paling efektif untuk mempercepat pengurangan angka kemiskinan yang ditargetkan turun hingga ke angka 9% di 2019 dan mengurangi ketimpangan.
Kemudian adalah kebijakan penambahan anggaran subsidi energi yang dalam tiga tahun terakhir justru konsisten dipangkas. Penambahan subsidi energi dalam APBN kemungkinan akan dilakukan demi mempertahankan harga BBM subsidi dan tarif listrik di tengah melambungnya harga minyak dunia.
Saat ini, pemerintah pun tengah mencari cara agar neraca keuangan kedua perusahaan bisa tetap sehat sembari tetap mempertahankan tarif listrik, harga premium dan solar untuk masyarakat.
Selanjutnya adalah rencana penurunan tarif tol khususnya bagi jalan tol baru yang tarifnya berada di kisaran lebih dari Rp 1.000. Hal ini menunjukkan inkonsistensi pemerintah bagi dunia usaha lantaran harus mengubah skema bisnis dan penambahan waktu defisit cashflow bagi badan usaha.
Namun pemerintah meyakini penurunan tarif bisa dilakukan. Kisaran tarif yang turun diperkirakan mencapai 15-20%. Hal ini pun akan dikompensasi dengan perpanjangan konsesi jalan tol ke badan usaha dan pemberian insentif fiskal sebagai upaya meminimalisir jumlah defisit cashflow yang ada.
Selain itu, pemerintah juga bakal kembali mewajibkan PT Pertamina (Persero) memasok bahan bakar minyak (BBM) penugasan jenis premium di wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Hal ini dilakukan demi memastikan ketersediaan BBM jenis premium di seluruh Indonesia, setelah sebelumnya diketahui terjadi kelangkaan di sejumlah daerah.
Adapun kewajiban Pertamina untuk memasok Premium di wilayah Jamali akan diatur dalam revisi Peraturan Presiden (Perpers) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Dan kebijakan populis paling hangat yang akan dilahirkan sebentar lagi adalah diwajibkannya bagi seluruh penyalur BBM yang beroperasi di Indonesia meminta persetujuan dari pemerintah jika ingin menaikkan harga jenis BBM umum (JBU) atau non-subsidi yang dijualnya.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengklaim, keputusan tersebut dibuat untuk mengendalikan inflasi yang kerap terjadi ketika harga JBU tersebut naik. Menurutnya, setiap ada kenaikan harga JBU atau non-subsidi, inflasi yang terjadi cukup tinggi sehingga campur tangan pemerintah diperlukan agar ikut mengintervensi dengan cara memberikan persetujuan pada setiap usulan kenaikan harga BBM non subsidi.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira mengatakan, sejumlah kebijakan populis yang diambil Jokowi tadi menunjukkan terjadinya kontraksi dalam ekonomi masyarakat. Selain keputusannya yang cenderung politis lantaran adanya sentimen menuju pemilihan presiden 2019, semua kebijakan yang diambil pemerintahan Presiden Jokowi juga seolah mengonfirmasi terjadinya pelemahan daya beli di masyarakat.
"Betul. Itu sudah jadi salah satu tandanya (ekonomi lesu). Karena tahun 2017 itu ada terlambat penanganan ya. Jadi mulai dari pencabutan listrik 900 Va itu dampaknya ternyata ke mana-mana, sampai ke ritel dan daya beli masyarakat. Itu tapi tidak diakui di 2017 daya beli masyarakat menurun. Sekarang jelang tahun pemilu, pastinya itu akan berpengaruh ke elektabilitas," katanya.
Bima menjelaskan, kebijakan populis yang diambil Jokowi saat ini rentan menimbulkan kontraksi di bidang lain karena terkesan lebih condong ke arah politik. Padahal, lesunya ekonomi Indonesia sudah terasa dalam kurang dari dua tahun terakhir sejak gugurnya sejumlah ritel besar hingga tak terasanya efek dari pembangunan infrastruktur yang masif ke masyarakat.
"Contohnya beberapa rangkaian yang cukup mendadak tanpa ada kajian yang jelas. Seperti keputusan untuk menaikkan belanja sosial PKH, dari 6 juta penerima jadi 10 juta penerima di 2018. Tapi ternyata penyaluran bantuannya juga sedikit terlambat misalnya. Ini semua seakan-akan konsumsi masyarakat yang didorong, tapi tanpa ada perencanaan yang jelas. Apalagi sekarang sampai swasta menaikkan harga BBM nya harus minta izin dulu. Itu nggak tepat," katanya.
Salah satu kebijakan populis yang akan diambil oleh pemerintahan Presiden Jokowi adalah dengan tak menaikkan harga BBM solar dan premium serta tarif listrik hingga akhir 2019 mendatang. Kebijakan ini sama seperti yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Jelang Pemilu 2009, Presiden SBY menurunkan harga BBM subsidi sebanyak dua kali. Dalam catatan detikFinance, anggaran subsidi BBM yang naik saat itu bahkan membuat Indonesia terjerat dalam subsidi BBM yang akhirnya membebani APBN. Namun pada 22 Juni 2013, atau di periode keduanya sebagai Presiden, SBY kembali menaikkan harga BBM subsidi.
"Artinya strategi utak-atik subsidi BBM jelang tahun politik di era pak Jokowi juga hampir sama dengan Pak SBY. Demi jaga harga BBM subsidi dan listrik stabil maka belanja subsidi energinya akan naik signifikan atau terpaksa dibebankan ke Pertamina," kata pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira.
Saat ini hal yang sama juga dilakukan Presiden Jokowi. Jokowi yang selama ini konsisten memangkas anggaran untuk subsidi BBM dan listrik dalam 3 tahun terakhir pun harus mengubah trennya di tahun 2018 saat akhirnya justru menambah anggaran subsidi energi.
"Pilihan ini menjadi kurang sehat dan tidak sustainable bagi APBN," kata Bima.
Pengamat politik Igor Dirgantara mengatakan cara ini adalah bagian dari strategi politik Jokowi dalam meraih simpatik dari masyarakat. Istilah 'the old wine in the new bottle' pun disematkan ke kebijakan yang diambil Jokowi saat ini.
"Kalau dulu di era Pak SBY dia menurunkan BBM. Itu strategi sebenarnya untuk mengurung semua kesempatan lawan-lawan politiknya untuk maju. Jadi kalau sudah kepililh, naikkan dulu BBM. Nanti kalau sudah mendekati masa pemilihan kembali, turunkan BBM," kata dia.
Sebagian besar kebijakan populis yang akan diambil oleh pemerintahan Presiden Jokowi bisa saja mengorbankan berubahnya sejumlah alokasi anggaran dalam APBN. Mulai dari rencana penambahan anggaran bantuan sosial, pemberian insentif fiskal untuk menurunkan tarif tol hingga penambahan subsidi energi guna menahan kenaikan harga BBM subsidi dan tarif listrik.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira mengatakan alokasi subsidi energi yang bertambah ini akan membuat APBN mengorbankan salah satu posnya. Pasalnya penambahan anggaran kemungkinan dilakukan jika harus menutupi subsidi BBM di saat harga minyak dunia justru melambung.
Hal ini pun berpotensi membuat penggunaan APBN tak lagi efektif dan bisa menggerus kepercayaan investor pada kredibilitas fiskal atau APBN.
"Demi jaga harga BBM subsidi dan listrik stabil maka belanja subsidi energinya akan naik signifikan atau terpaksa dibebankan ke Pertamina. Pilihan ini menjadi kurang sehat dan tidak sustainable bagi APBN," kata Bima.
"Target menang pemilu jangka pendek tapi mengorbankan APBN. Tiga tahun terakhir subsidi BBM nya dipangkas katanya untuk bangun infrastruktur. Akibatnya kan jelas daya beli masyarakat merosot, baru tahun ini subsidi BBM dan listrik mau ditambah lagi. Ada inkonsistensi kebijakan fiskal di situ. Pengaruhnya bisa macam-macam, salah satunya kredit rating bisa di-downgrade. Kepercayaan investor juga menurun," tambahnya.
Dengan kondisi seperti itu, jika ingin tetap mempertahankan harga BBM subsidi dan tarif listrik sekaligus jaga kredibilitas APBN, maka pemerintah perlu memangkas salah satu pos belanja, seperti infrastruktur.
Belanja infrastruktur yang sebesar Rp 410 triliun harus dirasionalisasi alias disunat dengan cara mengevaluasi semua proyek mana yang bisa didanai dengan APBN dan mana yang harus ditunda.
"Sisa dari pemangkasan belanja infrastruktur bisa menambah subsidi energi. Sehingga defisit nya bisa terjaga. Pemerintah harus memilih membangun infrastruktur tapi multiplier effect-nya lama dan tidak menyerap tenaga kerja secara optimal, atau menjaga daya beli masyarakat dengan pertahankan harga BBM dan listrik subsidi? Saya kira opsi kedua yang paling mendesak," pungkasnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman