-
Mata uang dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat terhadap rupiah. Mata uang Paman Sam itu nyaris tembus Rp 13.900 pekan lalu.
Ekonom menyebut pelemahan ini disebabkan oleh perbaikan data ekonomi AS. Hal ini memicu ekspektasi pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) lebih dari tiga kali.
Namun, adapula yang menyebut, pelemahan rupiah ini tidak hanya disebabkan faktor eksternal namun juga internal. Berikut berita selengkapnya:
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan, pelemahan rupiah tahun ini cukup mengkhawatirkan sebab dolar AS mendekati Rp 14.000.
Meski begitu, dia bilang kondisi ini belum separah di tahun 2016. Lana mengatakan, dolar AS pernah mencapai Rp 14.600 di 2016.
"Kalau sekarang posisinya relatif belum bisa dibandingkan (2016) dolar AS Rp 14.600. Tapi khawatirnya tren Rp 14.000 dekat," kata dia kepada detikFinance, di Jakarta, Minggu (22/4/2016).
Dia mengatakan, dalam 10 tahun terakhir tren pelemahan rupiah rata-rata 3,5% hingga 4%. Jika di awal tahun dolar AS Rp 13.400 maka titik mengkhawatirkannya ialah jika menembus Rp 14.000.
"Kalau kita ambil awal tahun lupa, sekitar Rp 13.400 kalau nggak salah, kalau 3,5% ya Rp 520 ya, hampir Rp 14.000. Itu teknikal ya. Artinya rata-rata pelemahan rupiah 3,5-4% dalam 10 tahun terakhir. Kalau rupiah melemah lebih 4% istilahnya over shifting, kebablasan," jelasnya.
Ekonom BCA David Sumual mengatakan, rupiah telah melemah sekitar 3% sejak awal tahun. Namun, pelemahannya tidak separah 3 tahun yang lalu yang melebihi 3%.
"Pernah pas Taper Tantrum 2013 dan devaluasi yuan 2015," ujar dia.
David mengatakan, pelemahan ini disebabkan oleh faktor eksternal. Salah satunya karena ekspektasi pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed).
"Faktor pendorongnya eksternal. Yield SUN 10 tahun AS kembali menyentuh 3%. Pasar berekspektasi Fed akan menaikkan suku bunga lebih dari 3 kali. Apalagi data-data terakhir cukup baik seperti data ketenagakerjaan (klaim pengangguran dan non farm payrolls) dan indeks PMI dan kepercayaan konsumen," tutup dia.
Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang nyaris mencapai Rp 13.900 tidak hanya dipengaruhi oleh ekspektasi pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed). Melainkan, ada faktor lain baik eksternal maupun internal yang berpengaruh.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan, faktor lain yang berpengaruh ialah terkait perang dagang (trade war) antara China dan AS. Sehingga, para investor mencari instrumen investasi yang dianggap aman salah satunya dolar.
"Intinya banyak isu dari AS yang mengganggu mata uang lain karena ketidakpastian di AS bunga, trade war, geopolitik menimbulkan ketidakpastian. Kalau orang nggak yakin, yang diambil investor biasanya posisi cash," kata dia kepada detikFinance, di Jakarta, Minggu (22/4/2018).
Faktor lain ialah kenaikan harga minyak mentah dunia. Indonesia sendiri masih mengimpor minyak. Kenaikan harga itu, kata dia, memicu permintaan dolar yang lebih tinggi.
"Tapi tidak menutup kemungkinan faktor domestik juga pengaruh dengan harga minyak mentah naik. Otomatis Pertamina, perusahaan minyak lain beli dengan harga mahal. Kan dia butuh dolar. PLN juga butuh minyak. Ini yang kemudian menambah dari dalam negeri memang ada faktor juga, di mana permintaan dalam negeri meningkat," ungkapnya.
Selanjutnya, karena disebabkan oleh musim pembagian dividen emiten. Dia mengatakan, pembagian dividen ini juga memicu permintaan dolar.
"Misal Unilever, Unilever kan perusahaan asing dia harus mengirim profitnya ke kantor pusatnya ke Belanda. Kirimnya pakai apa, pakai dolar," lanjutnya.
Bukan hanya itu, permintaan akan dolar juga meningkat karena pemerintah juga membayar kupon surat utang. "Dan bulan-bulan ini bulan pembayaran kupon obligasi pemerintah juga kepada asing yang dibayarkan setahun 2 kali. Jadi memang ada permintaan," tutupnya.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan, secara teknikal potensi rupiah memburuk dan dolar AS ke Rp 14.000 terbuka. Dia berharap, Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi supaya pelemahan tidak berlanjut.
Dia menjelaskan, tren pelemahan rupiah dalam 10 tahun terakhir rata-rata ialah 3,5 hingga 4%. Sementara, posisi dolar AS di awal tahun sekitar Rp 13.400.
"Ya kalau melihat teknikal bisa (per dolar Rp 14.000), tapi kalau di-counter bisa juga. Diintervensi bisa dibalikin ya, jangan sampai Rp 14.000 ke Rp 13.700 lagi," kata dia kepada detikFinance, di Jakarta, Minggu (22/4/2018).
Sementara, dia mengatakan, sentimen yang berpengaruh terhadap pelemahan rupiah antara lain ekspektasi pelaku pasar terkait kenaikan suku bunga The Federal Reserve (The Fed). Namun, dia mengatakan, pengaruhnya relatif terukur karena The Fed sendiri cenderung terbuka.
Lanjutnya, hal lain yang berpengaruh terhadap pelemahan rupiah ialah meningkatnya permintaan dolar karena digunakan untuk pembayaran dividen. Tapi, dia mengatakan, tekanan akan berkurang sekitar bulan Juni seiring dengan berhentinya musim pembagian dividen.
Paling mengkhawatirkan, kata Lana, ialah kenaikan harga minyak mentah. Indonesia sendiri masih mengimpor minyak. Alhasil, semakin tinggi harga minyak semakin tinggi pula permintaan dolar AS.
Dia mengatakan, kenaikan harga minyak sendiri sulit diprediksi karena juga dipicu oleh konflik geopolitik. Salah satunya, antara AS dan Rusia di Suriah.
"Tapi kan harga minyak mentah kan diprediksi naik terus, ada yang memprediksi bisa balik lagi ke US$ 100, kemungkinan US$ 80 kemudian US$ 100," ungkapnya.