Pelemahan rupiah itu disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Dari sisi eksternal di antaranya disebabkan oleh ekspektasi pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve (AS). Sementara, di internal salah satunya terkait musim pembagian dividen yang memicu permintaan dolar.
Penguatan dolar AS menyita perhatian berbagai pihak. Dari ekonom, pengusaha, sampai regulator. Berikut berita selengkapnya.
"Spekulasi ini membuat capital outflow di pasar modal mencapai Rp 7,78 triliun dalam 1 bulan terakhir. Kenaikan yield atau imbal hasil treasury bond jelang rapat Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun," terangnya kepada detikFinance, Senin (23/4/2018).
Kedua, perkiraan harga minyak mentah yang diprediksi naik lebih dari US$ 75 per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian perang dagang AS-China. Hal ini membuat inflasi jelang Ramadhan semakin meningkat karena harga BBM non subsidi (pertalite, pertamax) menyesuaikan mekanisme pasar.
"Inflasi dari pangan juga perlu diwaspadai karena harga bawang merah naik cukup tinggi dalam 1 bulan terakhir," tambahnya.
Ketiga permintaan dolar AS diperkirakan meningkat pada triwulan II 2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mengkonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar.
Kemudian, menurut Bhima importir lebih banyak memegang dolar untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek.
"Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal," imbuhnya.
Selain itu ada pula faktor-faktor fundamental seperti defisit transaksi berjalan yang diperkirakan terus melebar hingga 2,1% terhadap PDB. Ada pula pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan hanya mencapai 5,1% pada kuartal I 2018.
Sehingga Bhima menilai pelemahan nilai tukar rupiah akan terus berlanjut hingga akhir 2018. "Tidak menutup kemungkinan berada di level Rp 14.000," tutupnya.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara akan ada beberapa dampak negatif dari pelemahan nilai tukar upiah. Pertama neraca perdagangan terancam kembali defisit karena biaya bahan baku impor meningkat.
"Beberapa industri seperti tekstil, farmasi, besi baja yang sebagian besar bahan bakunya bergantung impor akan terkena imbas paling besar. Selain itu jelang Lebaran biasanya permintaan impor barang konsumsi juga naik, tahun ini dengan tekanan kurs biaya impornya jadi lebih mahal," tuturnya.
Kemudian risiko gagal bayar utang swasta meningkat. Apalagi bagi swasta yang harus bayar utangnya dengan dolar sementara pendapatannya diperoleh dalam bentuk rupiah. Selisih kurs beresiko ganggu keuangan perusahaan swasta.
Ketiga, bagi utang pemerintah pelemahan rupiah akan membuat kewajiban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri dalam bentuk valas akan membesar.
"Alhasil ruang fiskal akan semakin sempit, dalam jangka panjang defisit keseimbangan primer membengkak," tegasnya.
Dolar Amerika Serikat (AS) kian perkasa terhadap rupiah. Kondisi ini membuat para importir was-was karena nilai kontrak mereka dalam dolar AS bakal melambung.
"Jangan sampai Rp 14.000, kritisnya 14 (Rp 14.000). Kita punya kontrak tahunan, kalau tiba-tiba melonjak naik repot juga," ujar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman.
Adhi menjelaskan, penguatan dolar AS terhadap rupiah berpengaruh pada harga bahan baku impor. Contohnya gula, garam, kedelai, dan jagung.
Produk bahan baku impor memakai kontrak tahunan, namun jika nilai tukar dolar AS menguat terhadap rupiah maka otomatis ada penyesuaian.
"Tapi kalau bahan baku tahunan seperti gula garam, kedelai, jagung pasti ada penyesuaian, meskipun kita kan kontraknya basisnya dolar. Jadi kalau ada pelemahan rupiah berpengaruh ke bahan baku, kita sudah merencanakan dan ada toleransinya, dari sekian sampai sekian, jangan sampai pecah ke 14.000," tutur Adhi.
Ekonom Rizal Ramli mengatakan penguatan dolar tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal. Melainkan, kata dia, ada faktor domestik yang memicu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
"Artinya selain faktor internasional yang penting faktor domestik ini jarang secara jujur dikatakan, apa itu? Sederhana, itu account defisit," kata Rizal di kediamannya, Jalan Bangka IX, Jakarta Selatan, Senin (23/4/2018).
"Ekspor tiga bulan negatif tapi bulan ini naik sedikit, terus service payment itu, kemudian kalau account priamary balance atau keseimbangan primer istilahnya itu juga negatif itu membuka Indonesia, rupiah makin lama anjlok," sambungnya.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini sebenarnya pernah memprediksi nilai dolar akan terus meningkat. Namun, itu dibantah sejumlah pihak.
"Pada 1996 kami mengeluarkan forecast 200 halaman, kami bilang hati-hati karena ada awan mendung di atas Indonesia jadi krisis tapi kami dibantah semua analisis internasional, Rizal Ramli nggak benar, Gubernur BI, Menkeu bantah. Padahal kami sederhana (indikator) account defisit Indonesia negatif cukup besar itu pasti bikin rupiah melemah dan utang Indonesia, swasta banyak banget. Kemudian disebut fundamental ekonomi Indonesia paling kuat, fundamental di Asia Tenggara," jelasnya.
Dia menambahkan dolar AS sebenarnya menguat hingga Rp 15.000. Tapi, Bank Indonesia (BI) sudah melakukan intervensi di pasar hingga mencapai US$ 6 miliar.
"Kalau kita lihat indikator hari ini account defisit, primary balance defisit, service payment defisit ditambah faktor The Fed dan sudah jebol dua bulan lewat Rp 15 ribu tapi Bank Indonesia sudah intervensi total US$ 6 miliar. Makanya ketahan dan tugas kita benerin, benahi," terangnya.
Bank Indonesia (BI) meminta masyarakat tidak panik atas pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Menurut BI, pelemahan rupiah disebabkan oleh faktor eksternal.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman mengatakan pihaknya juga akan melakukan konsolidasi dengan pemerintah untuk tetap menjaga nilai tukar.
"Kita minta masyarakat jangan panik, ini kan karena faktor global, dan bukan hanya (mata uang) di kita, dunia juga," kata Agusman di gedung Bank Indonesia, Jakarta, Senin (23/4/2018).
Agusman menyebutkan, rupiah bukan menjadi mata uang satu-satunya yang terkapar tak berdaya menahan keperkasaan dolar AS.
Per Jumat (20/4/2018), perkembangan beberapa nilai tukar mata uang negara seperti Filipina peso depresiasi -4% (year-to-date/YTD), India rupee -3,38% (YTD), Turki lira -6,54% (YTD), Brasil real -2,81% (YTD), dan Indonesia -2,23% (YTD). Sedangkan mata uang yang terapresiasi adalah Tailand baht sebesar 4,01%, dan Malaysia ringgit sebesar 3,82%.
"Jadi hampir semua currency, year to date banyak sekali yang di atas kita depresiasinya," jelas dia.
Kendati demikian, Agusman mengungkapkan bank sentral akan terus melakukan intervensi agar nilai tukar rupiah tetap stabil dengan selalu berada di pasar.
"Jadi memang kita paham dengan kejadian ini, tapi kita minta semua untuk bersama-sama dan kita tetap berada di pasar, dan kita harap bisa atasi situasi ini, karena ini faktor global, faktor global ini kan di luar kuasa kita," ujar dia.
Senada, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Darmin Nasution mengatakan pelemahan ini tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, kondisi serupa juga dialami oleh beberapa negara lainnya.
"Intinya saya merasa tidak terlalu mengkhawaitirkan perkembangannya, karena dia bukan perkembangan yang terus menerus berlangsung selalu saja ada hal positif negatif yang bisa diduga oleh pasar. Jadi pada akhirnya saya cenderung mengatakan kita memang ada perkembangan seperti itu tapi tidak terlalu khawatir," tutup Darmin.