Dolar 'Ngamuk' dan Rupiah yang Undervalued

Dolar 'Ngamuk' dan Rupiah yang Undervalued

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Jumat, 27 Apr 2018 08:07 WIB
Dolar Ngamuk dan Rupiah yang Undervalued
Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sejak akhir pekan lalu terus mengalami pergerakan menuju level Rp 14.000. Kemarin (26/4) dari Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) dolar AS sempat menyentuh Rp 13.930 kemudian pada sore dari data Reuters nilai dolar Rp 13.856.

Bank Indonesia (BI) menyebutkan pelemahan tersebut terjadi karena sejumlah faktor, mulai dari ketidakpastian ekonomi global, perbaikan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan adanya ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) tahun ini.

Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan saat ini nilai rupiah sudah di bawah nilai wajar atau undervalued. Namun bank sentral memang tidak menargetkan nilai tukar dalam di batasan tertentu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami (BI) tidak menargetkan nilai tukar di angka tertentu. Tapi sekarang ini (rupiah) undervalued," kata Agus di Gedung BI, kemarin (26/4).

Mantan Menteri Keuangan ini menyebut BI terus menjaga stabilitas nilai rupiah. Saat ini volatilitas nilai rupiah masih berada di range yang cukup baik yakni kisaran 6%.

Dia menjelaskan, kondisi ini terjadi hanya sementara. Pasalnya guncangan yang terjadi di pasar global dan Amerika Serikat (AS) juga bersifat temporary. Saat ini ekonomi dunia sedang menuju titik keseimbangan baru. "Secara umum negara maju dan negara berkembang sudah mulai menormalisasi kebijakan moneternya. Ke depan bunga sudah siap dinaikkan. Indonesia juga harus menyiapkan diri untuk tantangan jangka menengah," ujar dia.
Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan. Depresiasi nilai rupiah dinilai masih lebih baik secara persentase dibandingkan negara-negara tetangga.

"Persentase pelemahan rupiah ini lebih kecil dibandingkan mata uang yang lainnya di Asia seperti Thailand, Malaysia, Singapura, Korea Selatan dan India," kata Agus.

Dari data BI hingga hari Rabu tanggal 25 April 2018 tekanan masih berlanjut. Rupiah pada tanggal 25 April 2018 terdepresiasi sebesar -0,23% atau -1,09% month to date (mtd).

Dari data BI periode 1 April - 25 April 2018 pelemahan nilai tukar sejumlah negara terhadap dolar AS berada di atas 1%. Seperti bath Thailand (-1,14%, mtd), ringgit Malaysia (-1,23%, mtd), dolar Singapore (-1,24%, mtd), Korea Selatan KRW (-1,58%, mtd), dan India INR (-2,57%, mtd).

Agus menjelaskan pelemahan rupiah ini terjadi karena penguatan mata uang AS yang terjajdi pada hampir seluruh mata uang dunia (broad based).

"Penguatan dolar AS ini adalah dampak dari berlanjutnya kenaikan suku bunga obligasi di AS hingga mencapai 3,03% ini tertinggi sejak 2013," ujarnya.

Menurut Agus, depresiasi rupiah juga terkait faktor musiman permintaan valas yang meningkat pada triwulan II antara lain untuk keperluan pembayaran ULN dan pembiayaan impor, dan dividen.

Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menjelaskan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ini jika dilihat dari persentase cukup kecil.

"Kalau dilihat Rp 13.800 ke Rp 14.000 kesannya besar, tapi secara persentase kecil," kata Erwin dalam konferensi pers di Gedung BI.

Dia menjelaskan, depresiasi ini tidak mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional. Pasalnya return on asset (ROA) perbankan nasional masih berada di level tertinggi di negara kawasan.

"Begitu juga dari rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) termasuk tinggi yakni masih di kisaran 22% hingga 23%. Apakah ini akan pengaruh akibat nilai tukar? Tidak ada yang berarti, stabilitas sistem keuangan masih baik," ujar Erwin.

Menurut dia, akibat depresiasi ini memang akan menekan import namun juga ada sisi keuntungan bagi ekspor.

Berdasarkan data BI per Februari 2018 CAR perbankan tercatat 23,1%, rasio likuiditas tercatat 23%. Kemudian non performing loan (NPL) atau rasio kredit bermasalah tercatat 2,9% secara kotor dan 1,3% secara bersih (net).

Transmisi pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial melalui jalur suku bunga juga terus berlangsung. Sejak awal periode pelonggaran kebijakan moneter hingga Februari 2018, suku bunga deposito dan kredit terus menurun masing-masing sebesar 203 bps dan 155 bps.

Pertumbuhan kredit Februari 2018 tercatat sebesar 8,2% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 7,4% (yoy). Pembiayaan ekonomi melalui pasar modal, seperti penerbitan saham (IPO dan rights issue), obligasi korporasi, dan medium term notes (MTN) terus mengalami peningkatan sebesar 14,3% (yoy) pada Februari 2018, sejalan dengan program pendalaman pasar keuangan.

Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Februari 2018 tercatat 8,4% (yoy), relatif sama dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya. Sejalan dengan prakiraan sebelumnya, pertumbuhan Kredit dan DPK akan lebih baik pada 2018, masing-masing dalam kisaran 10,0-12,0% (yoy) dan 9,0-11,0% (yoy).

Bank Indonesia (BI) mempersiapkan empat jurus supaya mata uang Garuda tidak melemah lebih jauh.

"Ke depan, untuk memperkuat upaya stabilisasi kurs sesuai fundamentalnya dengan tetap mendorong mekanisme pasar, BI akan menempuh beberapa langkah," ujar Gubernur BI Agus Martowardojo.

Pertama, bank sentral senantiasa berada di pasar untuk memastikan tersedianya likuiditas dalam jumlah yang memadai baik valuta asing (valas) maupun rupiah.

Kedua, BI memantau dengan seksama perkembangan perekonomian global dan dampaknya terhadap perekonomian domestik.

"Ketiga, BI mempersiapkan second line of defense atau pertahanan tambahan bersama-sama negara mitra utama Indonesia untuk bisa mempersiapkan bentuk-bentuk kerja sama antar bank sentral untuk menjaga stabilitas," jelasnya.

Keempat, tambah Agus, apabila tekanan terhadap nilai tukar terus berlanjut serta berpotensi hambat capaian sasaran inflasi dan ganggu stabilitas sistem keuangan, maka BI tidak menutup ruang bagi penyesuaian suku bunga kebijakan dan tentu dilakukan secara berhati-hati, terukur, dan data dependence atau mengacu pada perkembangan data terkini maupun perkiraan ke depan.

Untuk mengantisipasi penguatan dolar AS BI bersama sejumlah negara tetangga akan mengembangkan secondline of defense atau pertahanan dengan negara-negara tetangga tersebut.

Kami mau sampaikan BI akan terus mengembangkan secondline of defense. Kita ada bilateral swap agreement, bilateral currency swap agreement dengan negara sahabat," kata Agus.

Dia menjelaskan, BI sudah bekerja sama dengan sejumlah negara Asean, Korea Selatan hingga Australia. Menurut Agus, tekanan yang terjadi pada nilai tukar rupiah dan negara lain ini terjadi karena adanya ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral AS dan suku bunga obligasi negara AS yang meningkat.

Agus menjelaskan, saat ini ekonomi dunia sedang mengarah menuju keseimbangan baru. "Kalau dilihat secara umum negara maju dan berkembang sudah menormalisasi kebijakan moneter. Suku bunga negara maju maupun negara berkembang sudah mulai dinaikkan, dan kita akan mempersiapkan diri untuk tantangan jangka menengah ini," ujar Agus.

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan penyebab pelemahan nilai tukar ini terjadi karena turunnya kinerja perekonomian di dalam negeri.

"Yang lebih penting lagi kinerja ekonomi domestik turun. Meskipun rating utang beberapa kali naik, tapi sebenarnya secara fundamental ekonomi masih kurang stabil," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Kamis (26/4/2018).

Dia menjelaskan, saat ini kepercayaan masyarakat atau konsumen cenderung mengalami penurunan, kemudian masyarakat menahan belanja.

"Tahun politik ini juga menyebabkan ekspansi bisnis tertunda, akibatnya pertumbuhan ekonomi sulit tembus 5,4%," ujar dia.

Hal-hal tersebut menyebabkan investor akhirnya merombak total portofolio investasinya karena terjadi penurunan kepercayaan.

Menurut Bhima tugas Bank Indonesia (BI) dan pemerintah saat ini harus memberikan Vitamin C kepada pelaku pasar dan konsumen.

"Vitamin 'C' adalah Confidence atau kepercayaan untuk pelaku pasar, itu yang langka akhir-akhir ini di pasar," jelas dia.

Hide Ads