Strategi Jokowi Agar Penguasaan Lahan Lebih Merata di Indonesia

Strategi Jokowi Agar Penguasaan Lahan Lebih Merata di Indonesia

Selfie Miftahul Jannah - detikFinance
Jumat, 27 Apr 2018 09:39 WIB
Foto: Rusman - Biro Pers Setpres
Jakarta - Indonesia memiliki sedikitnya 190 juta ha luas daratan yang terdiri dari 70% kawasan hutan dan 30% kawasan budidaya alias kawasan yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan dari mulai pemukiman hingga kawasan Industri. Dalam pemanfaatannya, masih banyak masalah ditemui terutama belum meratanya atau masih timpangnya penguasaan atas lahan yang bisa dimanfaatkan tersebut.

Masalah ketimpangan penguasaan lahan menjadi perhatian pemerintahan presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak awal pemerintahannya. Bukan tanpa alasan, minimnya legalitas penguasaan lahan oleh masyarakat hingga banyaknya lahan kawasan industri yang terlantar dan tak termanfaatkan dengan baik, menjadi batu sandungan pemerintah dalam upaya melakukan pemerataan ekonomi.


Menjawab tantangan tersebut, pemerintahan Presiden Jokowi lewat Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak tahun 2017 melakukan program yang disebut reforma agraria.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penasaran, detikFinance berkesempatan membedah program itu bersama Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil di sela-sela kesibukannya melakukan tugas kunjungan kerja di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, akhir pekan lalu.

Secara garis besar, program reforma agraria dibagi dalam 2 komponen utama yakni redistribusi aset, dan legalisasi aset atau sertifikasi tanah yang belakangan dikenal dengan istilah bagi-bagi sertifikat tanah.

Seperti apa kegiatan nyata dari program tersebut?

"Komponen pertama, legalisasi aset. Legalisasi aset itu ada dua, yang pertama legalisasi aset masyarakat mensertifikatkan tanah masyarakat. Yang kedua yaitu mensertifikatkan tanah tanah negara yang sudah diberikan pada transmigran," kata Sofyan.

Untuk legalisasi aset atau sertifikasi tanah, ada dua cara yang bisa ditempuh yakni lewat cara mandiri yakni masyarakat mengajukan sendiri proses sertifikasi tanah yang dimilikinya ke kantor BPN terdekat. Cara lainnya adalah secara kolektif lewat program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang dikoordinir pemerintah tanpa dipungut biaya.


Lewat program ini, masyarakat memiliki kekuatan hukum atas tanah yang dimilikinya sehingga terhindar dari adanya sengketa kepemilikan. Lebih penting dari itu, masyarakat jadi memiliki legalitas atas aset yang dimilikinya yang dapat dijadikan jaminan sah untuk mengajukan kredit permodalan usaha ke bank.

Selama ini, masyarakat sulit mengakses layanan perbankan lantaran tak punya jaminan aset yang sah dan pada akhirnya terjebak pada lintah darat alias rentenir.

Sofyan melanjutkan, komponen kedua dari program reforma agraria adalah program redistribusi aset. Apa itu redistribusi aset?

Redistribusi aset adalah menertibkan tanah-tanah terlantar, baik tanah bersertifikat Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, yang sudah habis masa berlakunya atau tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya.

Tanah tersebut dicabut izinnya kemudian didayagunakan untuk kepentingan masyarakat sebagai Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN) dan akan dibagikan ke masyarakat.

"Redistribusi aset ada 2 komponen lagi. Yang pertama adalah mendistribusikan HGU yang terlantar atau yang diterlantarkan atau yang dilanggar sehingga HGU itu kita tata. Yang kemudian akan kita bagikan kepada masyarakat," kata dia.


Ia memberi contoh, bila ada badan usaha yang mengantongi izin pemanfaatan lahan dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) seluas 1.000 ha tanah namun hanya memanfaatkan 500 ha saja, maka HGU 500 ha lahan yang terlantar akan dicabut. Dengan cara ini, lahan-lahan yang ada bisa dimanfaatkan lebih optimal. Selain itu, kesempatan masyarakat untuk mengelola lahan milik negara bisa dibuka lebih luas. (dna/dna)

Hide Ads