Fakta Miris Rendahnya Gaji Guru Honorer

Fakta Miris Rendahnya Gaji Guru Honorer

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Kamis, 03 Mei 2018 08:38 WIB
Fakta Miris Rendahnya Gaji Guru Honorer
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Pemerintah menetapkan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) jatuh setiap tanggal 2 Mei. Walau Indonesia memiliki peringatan Hardiknas, namun masih ada banyak tenaga pengajar atau guru honorer yang belum mendapatkan kesejahteraan layak.

Masih banyak penghasilan guru honorer jauh dari kata layak, bahkan di bawah angka Upah Minimum Regional (UMR). Dengan penghasilan yang kecil, tentu guru honorer sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Padahal, guru honorer merupakan tenaga pengajar profesional yang turut membantu mencerdaskan anak bangsa. Namun sayang, guru honorer belum banyak mendapatkan penghormatan yang layak dari sisi kesejahteraan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut fakta-fakta seputar minimnya kesejahteraan guru honorer.

Banyak guru honorer yang mendapatkan gaji di bawah standar. Seperti yang dialami oleh Fristy, salah seorang guru honorer di salah satu Sekolah Mengenah Pertama (SMP) di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Fristy mengaku penghasilannya sebagai guru honor jauh di bawah UMR Kabupaten Bekasi yang sekitar Rp 3,8 juta/bulan.

Fristy mengatakan penghasilannya sebagai guru honorer tergantung dari jumlah jam mengajar di sekolah tersebut. Setiap jam pelajaran, pihak sekolah memberikan upah Rp 50 ribu, selain itu Fristy tak boleh mengajar lebih dari 24 jam pelajaran dalam sebulan.

"Jadi kalau saya honorer itu Rp 50 ribu setiap jam pelajaran. Nggak boleh lebih dari 24 jam, karena itu harusnya guru negeri. Jadi kalau guru honorer cuma ambil sisa-sisa jam pelajaran yang kosong," kata Fristy kepada detikFinance, Jakarta, Rabu (2/5/2018).

Dari upahnya sebagai guru honorer tersebut, rata-rata dalam setiap bulan Fristy mendapatkan penghasilan Rp 1-1,2 juta. Untuk menutupi kebutuhan hidupnya, Fristy mengaku juga bekerja di tempat lain, selain menjadi guru honorer.

Berbeda dengan Fristy, nasib lebih beruntung masih dialami oleh Isticha yang merupakan guru honorer di salah satu SMP negeri kawasan Tangerang Selatan. Isticha mengaku, dalam tiga bulan terakhir ini kesejahteraan guru honorer di kotanya sudah mulai membaik setelah Kepala Dinas Pendidikan di kotanya membuat peraturan tentang guru honorer.

Dia menjelaskan, sistem guru honorer di Tangerang Selatan sekarang diupah dengan nilai yang sama, tergantung pendidikan terakhir dari guru honorer itu sendiri. Untuk Sarjana atau S1, guru honorer harus diberikan upah Rp 2,4 juta/bulan dengan waktu jam mengajar hingga 24 jam. Sementara untuk Magister atau S2 diupah sebesar Rp 2,6 juta/bulan dengan jumlah jam mengajar yang sama.

"Aturan itu baru sekitar tiga bulan berlaku, sekarang sudah mendingan jadi penghasilannya sampai 2 juta," kata Isticha.

Sebelum ada aturan ini, Isticha mengaku penghasilannya sebagai guru honorer terlampau kecil. Untuk setiap jam pelajaran, dia mendapatkan bayaran dari sekolahnya hanya sebesar RP 30 ribu. Sementara untuk setiap bulan Isticha mengaku rata-rata hanya mengantongi penghasilan sebesar Rp 700 ribu. Nilai itu jauh di bawah UMR Tangerang Selatan yang sekitar Rp 3,2 juta.

"Kalau dulu duit segitu paling cuma habis untuk seminggu, jauh banget di bawah UMR. Kalau sekarang bisa buat dua minggu lah, walaupun juga masih di bawah UMR," tuturnya.


Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengatakan ada banyak guru honorer yang hanya mendapatkan penghasilan di bawah Rp 300 ribu. Biasanya guru honorer tersebut mengajar di daerah-daerah pelosok.

"(Contohnya) Kalau di Pandegelang atau di Banten ada guru honor, di sana misalnya cuma Rp 200-300 ribu per bulan ya jauh sekali (dari sejahtera). Di Banten atau Pandegelang itu kan masih banyak guru yang honor seperti itu," katanya kepada detikFinance, Jakarta, Rabu (2/5/2018).

Heru menjelaskan biasanya guru honorer di daerah kecil tersebut mendapatkan gaji kecil karena pihak sekolah tak mampu untuk membayar lebih. Guru honorer di sana dipekerjakan untuk mengganti kekurangan guru PNS.

"Kenapa sekolah menggunakan guru honor? Ketika ada PNS guru, misalnya SD itu pelosok yang jauh, atau di ujung Banten, nah guru PNS tersebut ketika di tempatkan di sana nggak betah, terus hilang-hilang. Karena hilang-hilang, guru di sana kurang, maka kepala sekolah cari guru honor orang yang ada di sekitar sana biar terisi pembelajarannya," kata dia.

"Karena nggak punya duit, sekolah tersebut akhirnya terima guru honor sesuai dengan kemampuan sekolah, misalnya hanya menggaji Rp 300 ribu per bulan. Kalau seperti itu kan artinya, sekolah nggak punya duit, tapi proses belajar mengajar harus tetap berlangsung. Itu banyak yang seperti itu," sambung dia.

Oleh sebab itu, kata Heru, seharusnya pemerintah memberi apresiasi yang lebuh terhadap guru honorer yang belum merasakan sejahtera. Sebab, guru honorer bersedia mengabdi dengan ikhlas untuk kepentingan pendidikan masyarakat.

Pemerintah diminta untuk bisa memberi perhatian yang lebih kepada guru honorer.

"Dengan posisi seperti itu harusnya yang disuarakan, dengan gaji honorer yang gaji minim, pemerintah itu terimakasih. Karena dengan pengabdiannya, dengan semangatnya, dengan hatinya, mereka tetap membantu pemerintah menyediakan pendidikan sampai pelosok. Maka iti guru honor harus diperhatikan, berikan perhatian untuk kesejahteraan mereka," tuturnya.

Guru honorer mendapatkan penghasilan sesuai dengan jumlah jam mengajar yang didapatkan.

Salah seorang guru honorer di kawasan Kabupaten Bekasi, Fristy, mengatakan guru honorer hanya bisa mendapatkan jatah maksimal mengajar sebanyak 24 jam dalam sebulan. Jam mengajar, maksudnya 24 jam pertemuan dengan siswa.

"Kita (guru honorer) mentok (mengajar) 24 jam setiap bulan, nggak boleh lebih dari itu. Sudah aturannya," kata Fristy.

Untuk setiap jam mengajarnya, Fristy mengaku mendapatkan upah sebesar Rp 50.000. Artinya, dalam setiap bulan Fristy hanya bisa mendapatkan penghasilan paling tinggi sebesar Rp 1,2 juta bila dapat mengajar 24 jam.

Namun, Fristy mengatakan bahwa jumlah itu tak setiap bulan ia terima. Sebab, kata Fristy, jam mengajar yang didapatkan guru honorer tak dapat ditentukan setiap bulannya. Tergantung sisa-sisa jam mengajar guru negeri.

"Karena saya honorer kan, jadi saya (hanya dapat) sisa-sisaan (guru) PNS yang ada saja, jadi tergantung sama jam mengajar saya," jelasnya.

"Kalau saya hanya dapatnya 10 jam mengajar, itu ya 10 jam dikali Rp 50 ribu, jadi sebulan hanya dapat Rp 500 ribu. Jadi nggak tetap," sambung dia.

Fristy mengatakan gajinya sebagai guru honorer tidak mencukupi untuk kebutuhan hidupnya. Untuk mengakalinya, Fristy juga harus bekerja di tempat lain untuk bisa menutupi kekurangan dari gajinya sebagai guru honorer.

"Karena kalau mengandalkan (penghasilan) dari guru honorer nggak cukup. Jadi kalau saya kan ada jam (kerja) di luar, nggak (hanya) harus kerja di sini ( jadi guru honorer)," kata Fristy.

Selain menjadi guru honorer, Fristy juga mengajar di tempat-tempat bimbingan belajar (bimbel) yang ada di daerahnya. Dia harus bisa membagi waktu antara mengajar di sekolah dengan mengajar di tempat lain.

"Jadi saya mengajar di sekolah sampai siang, setelah itu bisa baru saya (kerja) di tempat lain. Kalau itu kan diperbolehkan," kata Fristy.

Sama dengan Fristy, guru honorer lainnya di kawasan Tangeran Selatan, Isticha, juga melakukan hal yang sama untuk bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Saat ini, Isticha sebagai guru honorer mendapatkan penghasilan sebesar Rp 2,4 juta/bulan dengan waktu mengajar 24 jam.

Walau mendapatkan upah yang lebih besar dari Fristy, Isticha mengaku juga harus bekerja di tempat lain untuk bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Sebab, gajinya tersebut juga masih di bawah UMR Tangerang Selatan yang sekitar Rp 3,2 juta.

"Jadi ngajar di dua sekolah. Yang satu di negeri, yang satu lagi di swasta. Untuk yang di swasta juga masih kecil bayarannya, cuma Rp 9.000/jam pelajaran. Jadi memang harus pintar-pintar bagi waktu biar bisa kerja tempat lain juga," katanya.

Selain kecil, kadang gaji yang mereka terima tidak dibayarkan secara rutin per bulan sekali.

Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih menerangkan, guru honorer sendiri di antaranya terbagi menjadi honorer kategori satu (K1) dan kategori dua (K2). Bedanya, hanya dari alokasi anggaran.

Honorer K1 mendapatkan alokasi anggaran dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) atau dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sementara, untuk K2 berasal dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) atau komite.

Dia mengatakan, rata-rata gaji guru honorer di daerah di bawah Rp 500 ribu per bulan. Ironisnya, gaji tersebut kadang tak dibayarkan rutin per bulan.

"Ini kan ada bermacam-macam alokasi, ada yang dari BOS sekolah masing-masing, dari komite. Ada dari APBD, ada yang APBN dari tunjangan fungsional, tapi itu tidak semua dapat. Rata-rata dapatnya dari sekolahan itu dari komite, dari BOS yang rata-ratanya di bawah Rp 500 ribu per bulan. Bisa diterimakan 3 bulan sekali, 6 bulan sekali," jelas dia kepada detikFinance di Jakarta, Rabu (2/5/2018).

Dengan kondisi tersebut, guru asal Banjarnegara ini mengatakan, tak jarang para guru honorer mencari pekerjaan sampingan. Dari jadi supir ojek sampai berdagang.

"Ya untuk mencukupi kebutuhan hidup yang mereka lakukan kerja sambilan. Ada yang ngojek, sales, bertani, beternak, dagang, dan lain-lain," ungkapnya.

Dia mengatakan, guru honorer yang memiliki nasib untung berada di kota-kota besar. Menurutnya, gaji guru honorer di kota besar biasanya sesuai upah minimum kabupaten/kota.

"Ada yang UMK tapi tidak semua, paling DKI, Surabaya, kota besarlah. Tapi kalau kebanyakan dari daerah otomatis, dari daerah yang rata-rata tidak semua mampu untuk kasih UMK," tutupnya.


Guru honorer terpaksa mencari uang tambahan untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Sebab, pendapatannya rata-rata masih rendah, apalagi di daerah yang masih di bawah Rp 500 ribu per bulan.

Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih mengatakan, pekerjaan sambilan yang dijalani di antaranya menjadi tukang ojek hingga menjadi petani.

"Ya untuk mencukupi kebutuhan hidup yang mereka lakukan kerja sambilan. Ada yang ngojek, sales, bertani, beternak, dagang, dan lain-lain," kata Titi.

Dia menambahkan, parahnya, gaji mereka tak dibayarkan secara rutin per bulan. Kadang, dia mengatakan, gaji yang diterima guru honorer dibayarkan 3 sampai 6 bulan sekali.

Titi mengatakan, pekerjaan sambilan ditempuh karena kebutuhan hidup keluarga yang tinggi. Dia bilang, kebutuhan untuk makan hingga untuk menyekolahkan anak per bulannya bisa mencapai Rp 2 juta.

"Tapi kalau di rata-rata kebutuhan hidup yang standar per bulan ya sekitar Rp 2 jutaan," ujar dia.

Guru SD asal Banjarnegera ini mengatakan, jumlah guru honorer di daerah masih banyak. Di sekolahnya saja, baru 2 guru yang menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

"Di SD saya saja, itu hanya ada 2 guru PNS, satu guru kelas 6, satu kepala sekolah. Berarti yang 5 ini yang ngisi honorer, itu rata-rata. Satu kecamatan 25 SD kalau kecamatan saya, plus MI (madrasah ibtidaiyah) berarti ada 20-30an. Rata-rata guru PNS cuma 2-3," tutupnya.


Hide Ads