Sudhamek memang hanya meneruskan bisnis kacang tanah keluarga. Tapi berkat kepiawaiannya mengelola perusahaan, membuat GarudaFood menjadi salah satu perusahaan raksasa di Indonesia, yang tidak hanya memproduksi kacang, tapi juga bermacam produk lainnya.
Usahanya membuat bisnis tersebut sukses bukan perkara mudah. Semasa muda, Sudhamek kerap jadi sasaran bully teman-teman sebaya karena namanya dianggap aneh. Sudhamek yang berlatar belakang keluarga susah juga pernah dihina miskin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sudhamek yang pada 2017 tercatat sebagai orang terkaya ke 38 di Indonesia versi Forbes, punya banyak kisah menarik sebelum dia sukses.
Masih banyak kisah menarik Sudhamek yang diceritakan langsung kepada detikFinance. Berikut wawancara khusus detikFinance dengan Sudhamek AWS, saat ditemui di Jakarta, pekan lalu.
Begini cerita selengkapnya:
Saya kan dari keluarga tidak mampu ya, dari sebuah kota kecil di Rembang. Saya hidup di tengah tengah perkampungan nelayan sebetulnya. Orang tua nggak punya. Jadi anaknya banyak. Jadi bisa dibayangkan anaknya banyak, nggak mampu. Saya dulu besar di tengah tengah situasi seperti itu. Tapi karena rumah dekat pantai, kira kira berjarak sekitar 300-400 meter dari pantai, sehingga setiap hari kami makan ikan laut.
Zaman dulu makan mewah itu makan ayam. Tapi karena ikan laut menjadi produk yang masih murah pada saat itu, dan masih segar segar, lautnya belum terpolusi seperti sekarang, sehingga asupannya lumayan baik lah, walaupun kita dari keluarga miskin tidak sampai kekurangan gizi.
Dengar-dengar semasa kecil Anda sering di-bully?
Kalau SD saya nggak terlalu merasakan ya. Saya mulai merasakan itu SMP, SMA, itu saya memang merasa mengalami masa masa seperti itu, di-bully, bahkan mungkin barang kali belum tentu di-bully juga, tapi karena sifat saya waktu kecil rada rada sensitif, sehingga misalnya saya tanya sama guru terus gurunya menjawabnya dengan mimik muka yang sedikit sarkastik itu saya itu rasanya sudah kayak down banget gitu, karena pada dasarnya saya itu nggak berani, ditanya itu nggak berani, memaksakan diri pura pura berani tanya tapi begitu jawabannya nggak ramah langsung saya terkapar.
Waktu SMA juga sama, SMA itu di Semarang karena saya dari kota Rembang. Dulu dari Rembang ke Semarang itu mobilitas nggak seperti sekarang. Jadi orang Rembang dipersepsi sebagai orang kampung sama warga Semarang.
Lagi pula nama saya anah kan. Nama Sudhamek itu di Indonesia cuma ada satu itu, sehingga setiap hari kalau absensi itu kayaknya saya kayak diadili gitu. Saya sudah tahu sebentar lagi ini begitu nama saya disebut pasti (teman-teman) tertawa. Bayangkan itu setiap hari selama 365 hari dikalikan 3 tahun. Walaupun saya mulai melakukan perlawanan. SMA kelas 2 dan 3 saya mulai terbiasa, artinya saya mulai pelan-pelan menemukan jati diri saya. Jadi waktu masuk SMA masa masa krisis itu sudah lewat.
Pernah terpikir buat ganti nama?
Pernah, pernah saya sempat mau ganti nama tapi ya akhirnya (tidak).
Dulu jadi sasaran ejekan teman-teman dan sekarang jadi salah satu orang terkaya di Indonesia, bisa diceritakan bagaimana transformasi diri Anda?
Saya itu intinya ada suatu pembawaan yang saya merasa beruntung. Saya pada saat mengalami luka batin, emosional secara terus, itu saya otomatis terus saya lawan dengan bentuk kemarahan itu saya ubah jadi energi, yang kemudian kemarahan, kecewa, rasa terhina, dan sebagainya itu saya ubah jadi energi untuk saya buktikan bahwa saya tidak seperti yang dibayangkan mereka lah, kira kira begitu. Nah di situ lah saya ada sifat kompetitif.
Setelah anda sukses, bagaimana pandangan orang-orang yang pernah merendahkan Anda?
Mungkin gini ya kalau saya lihat baik itu di WhatsApp grup dengan SMP, SMA, kemudian juga kemarin ada reuni, saya bisa merasakan bagi mereka saya ini diakui sebagai salah satu teman yang berhasil, tapi karena saya tetap bersikap rendah hati terhadap mereka, sehingga mereka menerima saya dengan baik.
Tapi mereka ada yang merasa malu pernah mengejek Anda?
Ada yang begitu, saya kira pasti ada yang begitu.
Ada yang tapi saya nggak pernah ketemu, dia kakak kelas saya, yang saya pernah pergi dengan adiknya. Dia adalah anaknya salah satu pemilik pabrik teh di Slawi sana. Itu sampai sekarang masih ada, walaupun bisnisnya kecil tapi bagi saya waktu itu orang itu kayanya sudah minta ampun. Saya waktu itu masih naik sepeda, dia sudah naik (motor) Honda, Honda pun Honda yang cc-nya gede, dan memang dia kaya ukurannya waktu itu.
Waktu saya pergi dengan adiknya karena satu angkatan, pas pulang, kakaknya itu sudah nunggu di depan garasi 'dari mana?' yang nggak enak itu ujungnya 'nggak usah pergi sama orang kere' wah itu benar benar menyakitkan. Itu saya masih ingat waktu ibu saya tahu nangis ibu saya. Ibu saya kan cinta betul terhadap anak-anaknya. Kalau anaknya disakitin, itu lebih sakit daripada dia yang disakitin. Begitu melihat beliau nangis saya nyesal.
Sampai saat ini belum sempat bertemu dengan orang tersebut?
Adiknya paling ketemu yang teman saya itu ketemu. Dia sempat ungkit lagi dan rupanya luka batin saya belum sepenuhnya hilang. Kira kira 12 tahun lalu pas saya umur 50 kita ada reuni di Semarang terus dia bilang 'gimana, mau ketemu lagi sama si anu' kakaknya dia. Itu kayak membangkitkan luka lama saya lagi. Saya manusia biasa, digitukan juga pasti itu juga, artinya saya sudah mencoba menguburnya. Dia sebetulnya tujuannya guyon.
Tapi itu kan luka bagi saya dalam sekali dia katakan 'jangan mau pergi dengan orang kere' itu kan menghina. Di depan saya loh dia ngomong begitu. Sampai akhirnya kami berantem fisik (setelah dihina kere). Ya sudah sama laki laki lah itu. Dia kelas 2, saya kelas 1 SMA waktu itu, nggak sampai luka, sedikit memar-memar.
Klik next untuk melanjutkan
Selama membangun GarudaFood tantangan terbesarnya apa?
Bisnis itu sebetulnya adalah bagaimana kita bisa menjual, karena dengan menjual anda ada peluang untuk mendapat keuntungan, dengan dapat keuntungan anda punya peluang untuk diinvestasikan kembali, dengan diinvestasikan kembali bisa tumbuh lebih jauh lagi dan seterusnya.
Perusahaan itu tumbuhnya yang paling sehat, dananya itu bersumber dari profit, nomor satu. Nomor dua baru dana dari luar. Profit atau modal sendiri, ketiga baru pinjaman. Pinjaman itu pilihan terakhir. Jadi oleh sebab itu tantangan pertama adalah bisa menjual, dan untuk bisa menjual tergantung jenis industrinya.
Kalau di consumer goods (barang konsumsi), selama pengalaman saya di bisnis makanan minuman ini consumer goods ya untuk bisa menjual harus dibenahi distribusinya. Makanya distribusi itu yang asalnya itu adalah milik agen agen kami. Dulu istilahnya agen agen. Itu saya pelan pelan saya benahin sampai akhirnya menjadi bisnis kami. Tapi tetap masih bersama sama mereka. Pemilik pemilik yang lama yang masih tetap kepengin stay dengan kita sampai sekarang masih, kecuali yang memang sudah dijual lain ceritanya. Kalau distribusi itu partner kami cukup banyak.
Bagaimana tipsnya buat orang yang sudah punya produk tapi bingung menjualnya?
Makanya pertama itu distribusi dulu, bagaimana caranya menjual. Di Indonesia negara yang luas sekali 1,9 juta km persegi sehingga kawasan yang begitu luas ya bentangannya begitu panjang ya maka distribusi menjadi sebuah keharusan. Walaupun penjualan kita masih kecil di masing-masing daerah, tapi kalau itu bisa merata itu bukan hanya sebuah kekuatan, itu berarti juga omzet kan.
Nah setelah dapat omzet, dapat duit, ada profit dipakai untuk membangun merek ya, consumer goods. Kalau mau membangun merek berarti kita beriklan. Beriklan itu paling efisien itu adalah masuk di TV nasional. Jangan TV yang lokal. Kalau TV nasional itu menunjukkan produk kita sudah merata distribusinya. Jadi ini kalau telur sama ayam harus dimulai dari mana dulu, saya tetap akan mengatakan distribusi.
Suka duka membesarkan GarudaFood?
Ini kan perusahaan keluarga ya. Perusahaan keluarga selalu ada family issuefamily issue, ada bisnis isu. Bagaimana tantangannya adalah dua hal ini bisa terjadi aligment kan, bisa disinkronisasikan antara family issue dengan business issue. Kebetulan saya ini anak paling kecil jadi memang bukan tugas yang mudah sekali buat saya untuk meng-address dua persoalan ini. Kalau saya seandainya orangtua kan gampang, dia anak saya, saya bilang 'no' selesai sudah. Nah ini nggak bisa. Saya adalah youngest in the family. Itu salah satunya.
Kemudianan yang kedua juga dalam konteks itu juga bagaimana melakukan aligment antara pemilik dengan profesional. Jangan dikotomikan pemilik itu selalu benar, profesional juga nggak selalu benar. Yang selalu benar itu adalah kepentingan perusahaan. Makanya semua orientasi semuanya harus ke situ.
Nah saya disiplin dalam soal itu. Saya disiplin sekali. Selama saya menjabat CEO belum pernah saya mendapatkan satu sen pun, mendapatkan income dari GarudaFood kecuali dari gaji dan dari dividen. Jadi pemimpin itu harus jadi role model, memberikan contoh, sehingga waktu ngomong itu kita didengar. Credibility itu adalah sebuah kekuatan yang terbentuk melalui sebuah proses yang panjang dan konsisten. Panjang tapi kalau nggak konsisten juga nggak kebentuk. Itu membutuhkan disiplin pada akhirnya gitu.
Dari family issue mungkin sempat ada semacam perselisihan dengan kakak?
Perselisihan pasti ada tapi di keluarga saya itu seperti anak kecil, berantem abis itu rukun lagi. Itu adalah kekuatan dari ibu saya. Ibu saya selalu menanamkan nilai persatuan. Walaupun kadang kadang ada crash yang kadang tidak mudah, berat, tapi dengan nilai yang ditanamkan pelan pelan akhirnya bisa kita nomor duakan, akhirnya selesai dengan sendirinya.
Tapi biasanya kan yang terbentuk di masyarakat kalau bisnis keluarga yang mengendalikan itu anak pertama, sementara Anda anak terakhir. Itu nggak ada semacam benturan?
Makanya saya ini sebenarnya ada di pimpinan ini its not by design. Saya anak paling kecil. Saya nggak pernah dipersiapkan oleh ayah saya. Bahkan saya lulus, nggak lama ayah saya meninggal dua tahun kemudian. Jadi sebetulnya saya ini nggak pernah dipersiapkan oleh ayah saya apalagi jadi pemimpin.
Dulu saya sama ayah saya mau dibukain bisnis di Rembang tapi saya nggak mau karena pemikiran saya 'sudah lah, saya itu sudah disekolahkan sampai dapat dua gelar, kok masih membebani orangtua lagi' ayah saya itu betapa lelahnya menyiapkan pekerjaan untuk anak-anaknya yang jumlahnya 11 itu kan. Saya terus putuskan kerja ikut orang.
Keunggulan GarudaFood bisa bertahap sampai saat ini apa sih?
Setiap bisnis itu ada yang namanya IKSF/industry key success factor. Menerjemahkannya tidak sesimpel itu. Yang pertama adalah adanya teknologi mastery, penguasaan terhadap teknologi dan innovation. Jadi teknologinya harus dikuasai dan kemudian innovation. Teknologi utamanya kepada quality dan productivity. Innovation pada dasarnya untuk membangun sebuah keunggulan ada unique value differentiation/uvp-nya. Itu pertama.
Kedua adalah brand value karena ini kita di consumer goods, you have to built your brand. Brand itu pertanyaannya adalah how is you brand. Brand value dan itu membangun itu tidak hanya butuh uang banyak, butuh waktu yang panjang, butuh kecerdasan tersendiri. Kreativitas lah lebih tepatnya.
Ketiga adalah distribution network itu. Makanya dulu yang saya benahin pertama di situ, distribution network. Tanpa punya distribution network, anda nggak akan bisa memenangkan persaingan itu. Ketiga itu kemudian diturunkan sampai jadi activity plan dan diukur dan itu diukurnya dari waktu ke waktu.
Klik next untuk melanjutkan
Pandangan Anda tentang hidup seperti apa? Apa sudah puas dengan capain sejauh ini?
Kalau bilang puas nggak puas gini, kalau puas itu diartikan kita berhenti saya bukan tipe orang yang tidak pernah puas tapi saya tipe orang yang rajin bersyukur. Saya dalam hidup itu ya saya tarik diri saya, berhenti saya, bersyukur. Sehingga pandangan hidup saya dalam hidup itu harus bermakna bagi banyak orang. Kalau kita hanya untuk bermakna bagi diri sendiri takutnya malah nganggur. Sudah tidak bisa bermakna bagi orang lain, hidup kita juga lebih nggak bahagia.
Hal-hal positif apa yang sejauh ini sudah Anda tularkan ke orang-orang, dan kira-kira hal positif apalagi yang mau ditularkan ke orang-orang?
Yang terpenting bagi saya adalah kelangsungan dan keberhasilan kami membangun pribadi pribadi unggul itu. Membangun yang disebut spirituality base company/sbc. Kalau itu semakin magnitudenya semakin besar tidak hanya untuk GarudaFood tapi juga suppliernya ketularan, customernya juga ketularan.
Bagi saya itu adalah legacy yang terpenting dalam hidup saya. Nah itu istilahnya saya kalau meninggal saya hanya ingin ingat-ingat itu saja di saat-saat terakhir saya sehingga itu lah yang akan membuat saya meninggal dengan tersenyum, karena itu lah yang dikatakan hidup yang bermakna. Jangan yang sifatnya hidup yang hanya menikmati diri sendiri atau bahkan good live sekalipun hanya urusi diri sendiri tapi tidak mau berbagi. Kalau orang yang hidup bermakna itu orang yang mau berbagi.
Nah masalahnya di Indonesia ini sekarang konglomerat itu tanpa disadari sepertinya tanpa disadari dan tanpa sengaja itu mendorong orang untuk mendefinisikan yang namanya sharing itu dalam satu artian yaitu material. Padahal sharing itu tidak hanya materi. Sharing yang tertinggi itu sebetulnya adalah sharing tentang ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan dalam bidang keagamaan.
Itu kalau berdakwah itu kalau benar itu pasti jurusannya surga. Tapi sebaliknya itu juga paling besar risikonya. Risikonya masuk neraka kalau dia sampai ngajarin orang sampai sesat itu.
Yang kedua urutannya berbagi itu adalah berbagi tentang kehidupan. Jadi membuat pasangan hidup kita bahagia misalnya.
Yang ketiga baru sifatnya itu material atau financial sharing. Itu urutannya ketiga. Ini kan kita zamannya materialisme sehingga tanpa sadar orang cenderung segala sesuatu diukur dengan material. Makanya saya nggak terlalu suka dengan istilah filantropis. Filantropis itu sudah terlalu dimaknai dengan bagi bagi materi.
Tapi lalu di balik ya sudah walaupun saya kaya ya tapi karena itu hanya ranking ketiga saya nggak mau kasih duit deh kalau butuh waktu saya saya bantu. Nah sudah berpikir begitu pun itu artinya sharing yang dilakukan non material itu pun tidak tulus. Gimana orang anda punya kelebihan nggak mau sama sekali.
Maksud saya begini, walaupun anda berdana Rp 100 juta dibandingkan dengan yang katakanlah Rp 1 miliar bisa saja pahalanya lebih besar yang Rp 100 juta kalau dikombinasikan dengan live sharing.