Demikian disampaikan Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono dalam diskusi 'Rupiah Gonjang-ganjing Apa yang Bisa Dilakukan?' di Jakarta, Rabu (9/5/2018).
"Jadi menurut saya BI jangan berpikir bahwa 'udahlah diselesaikan intervensi'. Karena terus terang saya worry karena cadangan devisa merosot dalam jumlah signifikan. Jadi mestinya menaikan suku bunga sudah menjadi opsi yang ditempuh," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, BI tak bisa hanya mengandalkan cadangan devisa. Sebab, cadangan devisa sudah tergerus cukup dalam untuk mengatasi pelemahan rupiah.
"Jadi kalau nggak segera merespon, telat merespon costly, costnya apa? Ya pasti cadangan devisa terkuras secara psikologis membuat pasar semakin grogi," ungkapnya.
Dia menambahkan, kebijakan untuk menaikan suku bunga acuan sudah ditempuh negara lain. Kenaikan suku bunga acuan penting daripada BI mesti menghamburkan cadangan devisa.
"Mau 25-50 basis poin yang penting BI aware era suku bunga rendah nggak bisa dilanjutkan. Amerika menaikan suku bunga, negara lain meresponnya sama, China kecil tapi sudah ada kenaikan suku bunga. Sayang menghamburkan devisa. Posisi US$ 124 billion, padahal pernah mencapai US$ 131,9 billion pada Februari menurut saya penurunan cukup signifikan," jelasnya.
Baca juga: Dolar Rp 14.000, Muncul #Rupiah14000Wajar |
Tony mengatakan, meski nggak ada jaminan rupiah bakal menguat, tapi paling tidak langkah tersebut mampu mengurangi beban cadangan devisa.
"Meskipun tidak ada jaminan 25 basis poin akan membuat serta merta menguat, nggak ada yang bisa menjamin, tapi minimal kita berusaha mengurangi beban cadangan devisa," tutupnya. (dna/dna)