Mengutip data Reuters, Rabu (9/5/2018) pada pukul 12.27 WIB, dolar sudah menyentuh Rp 14.080. Dolar bahkan sempat mencapai angka tertinggi di Rp 14.085 dan terendah Rp 14.055. Paginya, dolar AS dibuka di kisaran di Rp 14.045.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono mengatakan nilai tukar dolar mesti didorong agar bisa kembali di bawah Rp 14.000. Sebab, dolar yang mencapai Rp 14.000 membuat investor 'tidak nyaman' karena mengingatkan pada krisis tahun 1998.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Negara lain juga mengalami (pelemahan), tapi saya mencatat satu angle yang mungkin pemerintah dan BI, dan BI agak kurang aware karena Rp 14 ribu bagi saya psychologically membuat kita tidak nyaman. Karena seolah-olah kita sedang dejavu ke-20 tahun lalu. Level yang sudah mirip dengan level krisis 1998," kata dia dalam acara diskusi 'Rupiah Gonjang-ganjing Apa yang Bisa Dilakukan?" di Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Menurutnya, seharusnya level dolar Rp 14.000 tidak terlampaui. Sebab, hal itu bisa membuat pelaku pasar melihat kondisi sekarang mirip dengan kondisi krisis.
"Menurut saya ada aspek psikologis yang mesti dijaga. (Dolar) Rp 14.000 psikologis level kalau bisa jangan terlampaui, karena pasar melihat bahwa ini situsi seperti 1998," ungkapnya.
Menurutnya, masalah rupiah ini tidak hanya bisa diselesaikan dengan intervensi. Tony bilang, sudah saatnya Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan.
"Jadi menurut saya BI jangan berpikir bahwa 'udahlah diselesaikan intervensi'. Karena terus terang saya worry karena cadangan devisa merosot dalam jumlah signifikan. Jadi mestinya menaikkan suku bunga sudah menjadi opsi yang ditempuh," ujarnya.
Fundamental ekonomi kerap dijadikan indikator untuk menilai rupiah. Namun, fundamental ekonomi sendiri sebaiknya terus diuji karena bukan berarti tanpa kekurangan.
Mada Tony Prasetiantono menerangkan, tahun 1998 fundamental ekonomi Indonesia relatif baik. Fundamental ekonomi sendiri, kata dia, terdiri dari sejumlah indikator makro seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca transaksi berjalan.
"Sejumlah indikator ekonomi makro paling basic namanya fundamental ekonomi, waktu itu baik-baik saja, tapi kemudian kejadian krisis. Sekarang pertanyaannya, kenapa bisa begitu?" ujar Tony di Jakarta.
Ada hal yang luput dari pemerintah, IMF, maupun Bank Dunia waktu itu. Dia mengatakan, indikator yang luput dari perhatian ialah utang luar negeri (ULN).
"Tapi satu faktor yang missing atau tidak tercapture, yaitu utang luar negeri oleh swasta, karena sistem devisa bebas, tidak ada capital control, maka swasta kita boleh utang luar negeri, bebas, dan tidak tercatat," ujarnya.
Sehingga, Tony mengatakan, ketika ULN yang sebagian utang jangka pendek jatuh tempo secara bersamaan muncul masalah. Kala itu, ULN Indonesia sekitar US$ 130 miliar, komposisi ULN pemerintah dan swasta hampir sama yakni sekitar 50%.
"Cadangan devisa kita hanya US$ 20 billion, bayangkan US$ 130 billion, separuhnya swasta berarti US$ 65 billion, dari US$ 65 billion katakan sepertiga atau separuh jatuh tempo, sementara cadangan devisa US$ 20 billion ya nggak ketemu. Demand melebihi supply. Akhirnya rupiah terdepresiasi," ungkapnya.
Dengan kondisi itu, Tony bilang fundamental ekonomi menjadi sesuatu yang terus diuji. "Yang disebut fundamental ekonomi kuat, harus diuji betul, harus hati-hati," ujarnya.
Setelah peristiwa itu, pemerintah pun melakukan pencatatan pada ULN. Bahkan, pemerintah mendorong swasta melakukan lindung nilai (hedging).
Tony melanjutkan, fundamental ekonomi nasional saat ini juga relatif baik. Namun, fundamental ekonomi tersebut belum cukup menangkal pelemahan rupiah.
Dia menduga, ada struktur ekonomi yang belum kuat. Dari berbagai literasi, dia mengatakan, mata uang seperti Taiwan dan Korea Selatan relatif kuat karena negara tersebut berorientasi ekspor.
"Kesimpulannya negara kaya Taiwan, Korea hebatnya dia itu perekonomiannya berorientasi pada ekspor, perdagangan kuat. Maka bisa himpun cadangan devisa gede itu yang buat mata uang stabil," ujarnya.
Sebab itu, dia bilang, untuk menjaga rupiah jangka panjang pemerintah mesti mendorong industri khusunya berorientasi ekspor.
"Industrialisasi, ekspor kuat, itulah yang belum kita miliki. Fundamental ekonomi kuat, tapi masih kelemahan di situ, membuat kuda-kuda kita tak cukup tangguh ketika ada gejolak eksternal membuat rupiah volatile," tutupnya
Tony Prasetiantono mengatakan Bank Indonesia (BI) harus segera mengatasi pelemahan rupiah. Tidak hanya dengan intervensi melalui cadangan devisa, melainkan dengan menaikkan suku bunga acuan.
"Jadi menurut saya BI jangan berpikir bahwa 'udahlah diselesaikan intervensi'. Karena terus terang saya worry karena cadangan devisa merosot dalam jumlah signifikan. Jadi mestinya menaikan suku bunga sudah menjadi opsi yang ditempuh," katanya.
Menurutnya, BI tak bisa hanya mengandalkan cadangan devisa. Sebab, cadangan devisa sudah tergerus cukup dalam untuk mengatasi pelemahan rupiah.
"Jadi kalau nggak segera merespon, telat merespon costly, costnya apa? Ya pasti cadangan devisa terkuras secara psikologis membuat pasar semakin grogi," ungkapnya.
Dia menambahkan, kebijakan untuk menaikan suku bunga acuan sudah ditempuh negara lain. Kenaikan suku bunga acuan penting daripada BI mesti menghamburkan cadangan devisa.
"Mau 25-50 basis poin yang penting BI aware era suku bunga rendah nggak bisa dilanjutkan. Amerika menaikan suku bunga, negara lain meresponnya sama, China kecil tapi sudah ada kenaikan suku bunga. Sayang menghamburkan devisa. Posisi US$ 124 billion, padahal pernah mencapai US$ 131,9 billion pada Februari menurut saya penurunan cukup signifikan," jelasnya.
Tony mengatakan, meski nggak ada jaminan rupiah bakal menguat, tapi paling tidak langkah tersebut mampu mengurangi beban cadangan devisa.
"Meskipun tidak ada jaminan 25 basis poin akan membuat serta merta menguat, nggak ada yang bisa menjamin, tapi minimal kita berusaha mengurangi beban cadangan devisa," tutupnya.
Bank Indonesia (BI) berupaya menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah. Sejumlah langkah diambil untuk mewujudkan hal tersebut.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, BI terus menempuh langkah-langkah untuk membuat rupiah tetap stabil. Di antaranya, intervensi di pasar valuta asing secara terukur, stabilisasi di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan mengoptimalkan berbagai instrumen operasi moneter valas dan rupiah.
Termasuk, kata dia, membuka lelang forex swap untuk menjaga ketersediaan likuiditas rupiah dan menstabilkan suku bunga di pasar uang untuk memastikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah terkelola dengan baik.
"Bank Indonesia juga tengah mempersiapkan langkah kebijakan moneter yang tegas dan akan dilakukan secara konsisten, termasuk melalui penyesuaian suku bunga kebijakan 7-day reverse repo rate dengan lebih meprioritaskan pada stabilisasi, untuk memastikan keyakinan pasar dan kestabilan makro ekonomi nasional tetap terjaga," kata Agus dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Dia menjelaskan, pelemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir merupakan dampak dari menguatnya dolar AS secara skala luas (broadbased) terhadap seluruh mata uang. Hal itu berhubungan dengan semakin solidnya ekonomi Amerika Serikat (AS) di tengah lambatnya pemulihan ekonomi di berbagai kawasan.
Lebih rinci, nilai tukar rupiah secara year to date (ytd) per 8 Mei 2018 melemah 3,44%, peso Filipina melemah 3,72%, rupee India 4,76%, real Brasil 6,83%, rubel Rusia 8,93%, dan lira Turki 11,51%.
"Tekanan pada nilai tukar mata uang negara-negara maju lainnya juga besar. Indonesia telah mengalami beberapa tekanan yang cukup besar seperti saat ini dalam lima tahun terakhir sejak bank sentral AS melakukan program tapering off di tahun 2013," ujar Agus.
"Bank Indonesia meyakini bahwa Indonesia juga akan berhasil melewati tekanan saat ini dengan baik, dengan perekonomian yang tetap tumbuh berkesinambungan dan stabil," sambungnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tercermin dari data realisasi pertumbuhan PDB Triwulan IV 2017 serta pertumbuhan PDB Triwulan I 2018 sebesar 5,06% (yoy). Menurutnya, pertumbuhan ekonomi itu stabil, kuat, dengan struktur ekonomi yang lebih baik.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2018 merupakan capaian tertinggi di pola musiman triwulan I sejak tahun 2015.
"Permintaan domestik yang meningkat pada triwulan I 2018 juga didukung oleh investasi yang naik dan konsumsi swasta yang tetap kuat. Sementara itu, kestabilan inflasi tetap terjaga pada level rendah sesuai target 3,5%+/-1%," terang Agus.
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) yang terus menguat terhadap rupiah mendapat perlawanan dari para netizen di media sosial Twitter. Pantauan detikFinance di Twitter, Rabu (9/5), hashtag #Rupiah14000Wajar di-twit oleh sejumlah akun Twitter dengan isi twit memberikan dukungan kepada rupiah.
Twit bernada dukungan terhadap rupiah tersebut juga dibarengi dengan hashtag lainnya, yakni #NilaiTukarRupiah dan #KursRupiah. Seperti yang ditulis oleh akun bernama @VickyWinarsih, #Rupiah14000Wajar dibareng dengan tulisan semua mata uang negara Asia tertekan.
Lalu ada pula akun @safitri_kamila yang mencantumkan #Rupiah14000Wajar dengan cuitan 'depresiasi nilai tukar rupiah masih cukup wajar'.
Dan masih ada banyak akun Twitter lainnya yang menuliskan #Rupiah14000Wajar di setiap cuitan tentang rupiah yang mereka posting. Cuitan-cuitan tersebut juga didukung oleh sejumlah petikan kalimat dari para petinggi negara dan stakeholder terkait yang memberikan dukungan terhadap rupiah atas penguatan kurs dolar AS, mulai dari Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Waluyo hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.