Sulit Beli Hunian, 45% Warga Jakarta Pilih Tinggal di Rumah Warisan

Sulit Beli Hunian, 45% Warga Jakarta Pilih Tinggal di Rumah Warisan

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Jumat, 18 Mei 2018 07:46 WIB
Sulit Beli Hunian, 45% Warga Jakarta Pilih Tinggal di Rumah Warisan
Jakarta - Tempat tinggal saat ini telah menjadi salah kebutuhan pokok masyarakat. Meski begitu, saat ini masih banyak masyarakat yang belum bisa memiliki kebutuhan papan tersebut karena berbagai hal.

Edukasi, terlebih soal pembiayaan, membuat banyak orang masih menunda pembelian huniannya. Rumah123 pun melakukan survey tentang kondisi serta permasalahan dalam memiliki sebuah hunian, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta.

Sentiment survei H-I/2018 ini melibatkan 1.922 responden selama periode 13 Maret-27 April 2018. Responden berasal dari Jabodetabek dan beberapa kota besar lainnya di Pulau Jawa. Dari survey itu terlihat dari hasil survei yang menyatakan bahwa nyaris 45% penduduk Jakarta tidak tinggal di rumah yang mereka beli sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut hasil survey selengkapnya:

1. Banyak yang Tak Tinggal di Rumah Beli Sendiri

Foto: Tim Infografis, Luthfy Syahban
Dari hasil sentiment survei yang diolah tim Business Intelligent Rumah123, meski tinggal di rumah yang berlabel milik sendiri, hunian tersebut diketahui didapat dari hasil warisan keluarga. Sisanya sebesar 36% menyewa/mengontrak/kost, dan hanya 19,4% yang punya rumah lewat uang sendiri atau milik sendiri.

"Betul, pengakuan tinggal di rumah sendiri, namun rumah tersebut mereka peroleh dari warisan. Bukan dibeli dengan uang mereka sendiri," kata Country General Manager Rumah123, Ignatius Untung.

Hal yang sama juga berlaku untuk wilayah Bandung dan Surabaya yang masing-masing 56% dan 47% penduduknya menempayi rumah yang merupakan rumah warisan atau milik orang tua atau rumah dinas. Wilayah penyangga Jakarta yang mencakup Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi justru sebaliknya, di mana sebagian besar penduduknya menempati rumah milik sendiri atau hasil uang sendiri.

Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya memiliki rumah sendiri sejak dini juga bisa dilihat dari tingkat penghasilan juga tak mempengaruhi kemampuan mereka membayar DP atau uang muka.

2. Kendala yang Dihadapi

Foto: Agung Pambudhy
Berdasarkan data yang diolah situs properti anak perusahaan REA Group Australia ini, besaran uang muka atau down payment (DP) ternyata masih menjadi momok di semua kelompok penghasilan.

"Jadi kurang tepat jika berpikir hanya mereka dengan penghasilan kecil yang kesulitan menyediakan dana untuk pembayaran DP," kata dia.

Jika mereka yang berpenghasilan di bawah Rp 10 juta per bulan kesulitan membayar DP lantaran kurangnya penghasilan, berbeda dengan yang di atas Rp10 juta. Golongan berpenghasilan terbilang besar ini malah cenderung kesulitan membayar DP karena "terlilit" utang. Sebut saja credit card, Kredit Tanpa Agunan (KTA), dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).

Menariknya, ada tren definisi investor terkini. Meski baru membeli properti untuk kali pertama, milenial sudah menggolongkan dirinya sebagai investor, bukan lagi first home buyer.

"Responden milenial sudah cukup sadar bahwa properti memiliki return yang bagus. Jadi, meski bukan hunian idamannya, saat mampu membeli sebuah properti, maka mereka akan berpikir itu sebagai bentuk investasi," katanya.

Data menunjukkan bahwa 60,32% milenial di rentang usia 22-28 tahun mencari hunian sebagai bentuk investasinya, sementara 39, 68% lainnya belum berencana sedikitpun. Meningkat cukup banyak, setidaknya ada 75% milenial di rentang usia 29-35 yang mulai mencari hunian investasi.

Pola pikir pragmatis juga cukup mewarnai keputusan pembelian properti dengan menggunakan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Hal ini cenderung terjadi pada masyarakat di golongan penghasilan di bawah Rp10 juta yang rela membayar cicilan dengan bunga lebih tinggi selama proses pengajuannya tidak terlalu sulit.

3. Alasan Tinggal di Rumah Warisan

Foto: Agung Pambudhy
Country General Manager Rumah123 Ignatius Untung mengatakan kebanyakan penduduk Jakarta yang tinggal di rumah warisan itu dikarenakan kesulitan untuk membeli properti di Jakarta. Sebab, harga hunian di Jakarta sudah terlampau tinggi.

"Sebagian besar (penduduk Jakarta) kesulitan untuk membeli properti di Jakarta karena semakin tidak terjangkau," kata Untung kepada detikFinance, Jakarta, Kamis (17/5/2018).

Untung menjelaskan, kebanyakan penduduk Jakarta hanya mampu untuk membeli rumah di wilayah pinggiran Jakarta. Bagi yang tidak mempermasalahkan terkait letak rumah tersebut, maka rumah di pinggiran Jakarta bisa menjadi pilihan.

Akan tetapi, bagi mempermasalahkan soal tata letak dari rumah tersebut, maka biasanya rumah di pinggiran Jakarta bukan menjadi pilihan yang tepat.

"Mereka yang keberatan pindah ke pinggiran, opsinya adalah tinggal dengan orang tua atau pakai rumah warisan orang tua, atau mengontrak di Jakarta," tuturnya

4. Tangerang Jadi Lokasi Favorit Milenial Beli Rumah

Foto: Agung Pambudhy
Tingginya harga rumah di Jakarta sulit diikuti dengan penghasilan kaum milenial atau kelompok usia muda. Kebanyakan dari kelompok usia muda itu mencari rumah di kawasan Tangerang maupun Tangerang Selatan (Tangsel).

Country General Manager Rumah123 Ignatius Untung mengatakan kawasan Tangerang dan Tangsel ini yang paling strategis mendekati Jakarta.

"Jadi memang Tangerang masih menjadi pilihan lokasi rumah setelah Jakarta bagi kelompok muda atau milenial," kata.

Untung menjelaskan ada beberapa hal yang membuat perumahan di kawasan Tangerang serta Tangsel banyak dicari. Yakni karena akses transportasi massa serta jalan tol yang tersedia dengan lengkap.

"Jadi itu lebih karena akses transportasinya, di Tangerang jalan tolnya ada, kemudian di Tangsel masih dicover dengan kereta api dan stasiun, jadi secara keseluruhan lebih menarik," kata Untung.

Karena kemudahan akses tersebut, tambah Untung, harga perumahan di wilayah tersebut tak jauh beda dengan di kawasan Jakarta. Kendati, opsi atau pilihan perumahan yang dapat dipih kaum milenial lebih banyak dibanding yang di Jakarta.

"Jadi kalau di sana masih mampu tapi opsinya nggak banyak banget. Tapi beli developer besar sudah susah. Jadi bisanya beli proyek-proyek yangg unitnya lebih kecil," kata dia.

"Contoh untuk rumah 10 tahun lalu itu kan minimal 90 meter(m)2. Nah kalau sekarang beli 90 m2 sudah nggak terjangkau. Yang 70 m2 saja sudah ngos-ngosan. Paling yang 50-60m2," sambung dia.

5. Kata Pemerintah Soal Banyak Warga DKI yang Tinggal di Rumah Warisan

Foto: Agung Pambudhy
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR, Khalawi Abdul Hamid mengakui bahwa rumah yang berada di kawasan perkotaan pada umumnya relatif mahal, utamanya dikarenakan tingginya harga lahan. Akibatnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak mampu membeli rumah.

"Untuk dapat menghuni rumah yang layak, masyarakat tidak harus membeli rumah sendiri, namun bisa juga dengan menyewa," kata Khalawi kepada detikFinance, Jakarta, Kamis (17/5/2018).

Di samping itu, Khalawi mengatakan saat ini pemerintah juga memiliki sejumlah program untuk bisa menyediakan hunian, khususnya bagi MBR. Salah satunya dengan rumah susun sederhana sewa (rusunawa).

"Melalui kebijakan pembangunan rusunawa, dapat disediakan rumah yang layak dan terjangkau dengan infrastruktur yang memadai, khususnya dalam menyikapi terbatasnya dan mahalnya harga lahan di perkotaan, yang menjadi salah satu penyebab utama mahalnya harga rumah," kata dia.

Lebih lanjut dia mengatakan pemerintah juga memberikan bantuan pembiayaan melalui program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).

Program itu merupakan bantuan pemerintah yang diberikan kepada MBR yang telah mempunyai tabungan, dalam rangka pemenuhan sebagian uang muka peroleh rumah atau sebagian dana untuk pembangunan rumah swadaya melalui kredit atau pembiayaan bank pelaksana.

"Saat ini, pemerintah daerah termasuk DKI Jakarta juga telah memiliki program penyediaan perumahan untuk MBR. Pemerintah DKI Jakarta saat ini telah melaksanakan antara lain program pembangunan kampung susun dan program pembangunan rusunawa di beberapa lokasi di DKI Jakarta di Rawa Bebek dan Pulo Gebang," jelasnya.

"Pemerintah pusat juga mendorong pemerintah daerah untuk memberikan kemudahan dalam penyediaaan perumahan bagi masyarakat, antara lain melalui bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang perumahan, sehingga alokasi anggaran pemerintah daerah untuk pembangunan perumahan lebih besar," tutupnya.
Halaman 2 dari 6
(fdl/dna)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads