-
Keberadaan truk-truk bermuatan lebih atau overload masih kerap ditemui di jalanan. Alih-alih efisiensi biaya logistik dengan membawa barang lebih banyak dalam sekali muatan, truk-truk 'obesitas' tersebut justru lebih banyak mudaratnya dibanding manfaat yang diberikan.
Kecelakaan maut di Brebes yang memakan 12 orang korban jiwa dan belasan korban luka-luka menjadi bukti bahwa truk dengan muatan berlebih sangat berbahaya jika dibiarkan bebas melintas di jalanan. Meski disebut ada sumbangsih dari buruknya desain flyover Kretek yang menjadi pemicu terjadinya lepas kendali kendaraan, namun muatan truk yang berlebih menambah peluang terjadinya sesuatu yang lebih buruk lagi.
Truk 'obesitas' juga telah memberi beban kepada pengguna jalan tol lantaran menjadi faktor penyumbang terjadinya kemacetan di badan jalan. Sementara badan usaha jalan tol menerima imbas dari membengkaknya biaya pemeliharaan jalan yang berasal dari beban tonase angkutan yang melebihi kapasitasnya.
Kementerian Perhubungan sendiri telah melaksanakan sejumlah langkah penanganan kepada truk-truk 'obesitas' ini agar tak lagi menjadi beban di jalan. Mulai dari mitigasi risiko dengan penerapan jembatan timbang hingga penyediaan moda jalur logistik lain selain darat.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan pemerintah perlu memberi perhatian serius bagi truk-truk 'obesitas' demi terciptanya keselamatan di jalur darat. Pasalnya, selama ini truk bermuatan lebih tersebut jelas telah memberikan banyak kerugian bagi masyarakat terutama jika telah terjadi kecelakaan seperti ini.
Untuk kecelakaan maut di Brebes contohnya. Selain buruknya desain keselamatan flyover Kretek yang menambah potensi kecelakaan bagi truk, kendaraan yang muatannya lebih membuat kendali kehilangan kontrol dan akhirnya menimbulkan kecelakaan.
"Flyover Kretek desainnya tidak bagus. Dulu itu dibuatnya sangat cepat cuma beberapa bulan. Jadi dari prasarananya salah, sarananya juga salah. Jalannya terlalu curam," katanya kepada detikFinance.
Sementara Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengatakan proses analisa tempat kejadian perkara masih dilakukan bersama komite nasional keselamatan transportasi (KNKT) pada Senin (21/5) lalu. Meski enggan membenarkan adanya sumbangsih kecelakaan dari flyover, namun dia mengakui adanya desain flyoveryang kurang ramah bagi pengguna jalan.
"Itu memang diawali dari jembatan Kretek. Memang sudah ada semacam upaya rekayasa di situ, di mana jembatan itu dibagi jadi dua lajur. Tapi kalau lihat kemiringan dan tikungannya itu memang kurang ideal ya. Dari arah Purwokerto kan belok kanan sambil naik, begitu naik langsung turun lagi agak belok ke kiri. Jadi mungkin untuk truk-truk yang mungkin muatannya berat kayaknya agak sedikit oleng-oleng. Karena memang kan banyak kecelakaan di situ. Kita lihat nanti apa ada akibat dari bentuk flyover itu," jelasnya.
Selain memitigasi risiko dengan mengaktifkan jembatan timbang, pengalihan angkutan barang dengan menggunakan jalur lain seperti kereta api dan kapal laut juga perlu digalakkan kembali.
"Muatan lebih itu menterinya harus serius. Jangan ditunda-tunda lagi muatan berlebih. Ditjen darat juga nggak bisa berjalan sendiri, ada ditjen kereta api dan laut," kata pengamat transportasi Djoko Setijowarno kepada detikFinance.
Perjalanan angkutan barang sendiri dinilai sudah tak lagi efektif menggunakan jalur darat jika jarak tempuh sudah melebihi 500 km. Namun menurut Djoko, pengalihan angkutan barang dengan menggunakan moda lain juga sulit dilakukan lantaran besarnya biaya angkutan dibanding menggunakan jalur darat.
Angkutan logistik menggunakan kereta misalnya, biayanya mencapai 1,5 kali angkutan darat. Djoko menilai biaya pajak untuk angkutan kereta menjadi beban sehingga penggunaan kereta sebagai angkutan logistik masih dinomorduakan.
"Menhub juga harus bicara dengan Menkeu, bagaimana pajak kereta tidak harus ada sehingga orang mau naik kereta. Kan naik kereta sekarang kena PPN lagi 10%," katanya.
Hal ini terbukti dari realisasi jumlah angkutan barang yang menggunakan kereta pada tahun lalu. PT Kereta Api Indonesia mencatat tidak tercapainya realisasi jumlah angkutan barang sepanjang 2017, dari target 39,9 juta terealisasi cuma 36 juta.
Padahal, pola angkutan barang dengan truk selama ini telah menimbulkan infesiensi besar. Inefesiensi salah satunya disebabkan oleh kemacetan yang ditimbulkan oleh angkutan barang dengan truk, belum lagi ditambah efek keselamatan.
"Tapi keretanya jangan mahal-mahal, karena pajak tadi. Makanya harus ada sinergi, antara masing-masing Ditjen di Perhubungan, termasuk ke Kemenkeu. Karena kalau darat sudah nggak efektif lagi, harus pindah ke kereta," tutup Djoko.
Kementerian Perhubungan melalui Ditjen Perhubungan Darat akan memperbanyak operasional jembatan timbang demi mengatasi masalah truk over tonase tadi. Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi bilang, pihaknya akan menambah pengoperasian 43 jembatan timbang lagi di seluruh Indonesia sampai Agustus 2018 mendatang demi mengatasi keberadaan truk obesitas itu di jalan.
"Jadi jembatan timbang saya sudah dilakukan beberapa revitalisasi. Sampai Agustus nanti juga akan mengoperasikan 43 jembatan timbang di seluruh Indonesia. Itu sampai ke Sumatera dan Kalimantan," katanya kepada detikFinance.
Untuk memastikan pengoperasian jembatan berjalan dengan baik dan sesuai dengan standar dan peraturan perundang-undangan yang ada, semua jembatan timbang di Jawa juga sudah dikerjasamakan dengan PT Surveyor Indonesia. Penerapannya juga dilakukan dengan e-Tilang demi meminimalisir adanya potensi pungutan liar (pungli).
"Kemudian mengenai over dimensi. Tapi ini butuh proses. Sampai ke aspek penegakan hukum," katanya.
Lanjut Budi, saat ini pengoperasian jembatan timbang telah menindak tegas setiap truk yang terbukti memuat barang lebih dari kapasitasnya. Tidak ada denda, tetapi harus menurunkan barangnya yang berlebih.
"Dan dari pihak surveyor Indonesia, dalam kontrak pendampingan dengan kita itu memang sampai menurunkan barang," katanya.
Saat ini pengoperasian jembatan timbang menerapkan sistem e-Tilang untuk setiap truk yang terbukti membawa muatan lebih dan harus menurunkan barang muatannya jika ingin terus melanjutkan perjalanan.
"Kita sudah tidak lagi di rezim denda. Denda itu saat jembatan timbang di bawah 2017 saat kewenangan masih di daerah. Kalau sekarang kan tidak. Denda cuma Rp 500 ribu. Jadi begitu ketok palu juga hakimnya memberi denda cuma Rp 200 ribu. Jadi nggak ada efek jera. Akhirnya kita ambil solusi dengan turunkan saja yang di atas 100%, ditimbang lagi baru bisa jalan," kata Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi kepada detikFinance.
Hal tersebut diambil lantaran denda tak menimbulkan efek jera. Dari hasil analisa di 2017, masih ada 25% angkutan barang bermuatan lebih yang muatannya berlebih hingga 100% atau dua kali lipatnya.
"Dari hasil kajian kita, yang muatan lebih dari 100 kendaraan yang lewat itu, 25% di antaranya itu melanggar tonase sampai 100%. Jadi ada 25 dari 100 truk itu melanggar tonase sampai 100%. Itu yang nanti akan kita sentuh dulu untuk diturunkan barangnya," katanya.
Pihaknya juga meminimalisir keberadaan truk obesitas dengan menindak setiap truk yang memiliki dimensi melebihi ukuran wajar atau over dimensi.
"Untuk yang over dimensi, kita sudah didik beberapa PNS kita untuk melakukan penyidikan terhadap kasus over dimensi," tambah Budi.
Pemerintah berusaha menyediakan pilihan jalur logistik lain selain darat, di antaranya melalui jalur kereta api dan kapal laut. Namun kedua jalur alternatif ini kurang diminati oleh pengusaha.
Untuk jalur kereta, pilihannya kurang diminati lantaran membutuhkan biaya 1,5 kali jalur darat. Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan dibebankannya pajak kepada barang sebesar 10% membuat jalur ini kurang diminati oleh pengusaha.
"Kalau darat sudah nggak efektif lagi, harus pindah ke kereta. Tapi keretanya jangan mahal-mahal, karena pajak tadi. Dulu PT KAI juga pengennya murah. Bukan mahal," katanya kepada detikFinance.
Sementara untuk jalur kapal laut, sejak akhir 2017 pemerintah telah menyiapkan kapal roro jarak jauh untuk rute Jakarta-Surabaya yang disubsidi untuk mengurangi beban jalan Pantura. Namun jalur ini juga kurang diminati lantaran terbentur oleh kendala non teknis seperti biaya retribusi yang membebani biaya logistik.
"Implementasinya long distance ferry nggak terlalu banyak, tapi minimal mengurangi beban. Karena sekarang kita masih coba menawarkan ke masyarakat, responsnya seperti apa," katanya.
"Responsnya cukup bagus, tapi ada permasalahan non teknis semacam biaya retribusi yang agak tinggi di Tanjung Priok. Mungkin saya harus berhitung kembali apakah mungkin bisa di Tanjung Priok biaya retribusinya diturunkan. Soalnya kalau dengan kondisi sekarang, masuk itu cukup besar biaya, jadi pengaruhnya cukup besar untuk subsidi yang diberikan ke pemilik kapal roro itu sendiri," tambahnya.