Karena nilai dolar AS saat ini sudah berada di level Rp 13.900 atau masih jauh meninggalkan asumsi yang ditetapkan Rp 13.400 per US$ di APBN 2018.
Peneliti dari Institute dor Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan dampak yang bisa dirasakan oleh Indonesia adalah biaya produksi industri manufaktur yang bergantung pada bahan baku impor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Mulai Jinak, Dolar AS Lengser dari Rp 14.000 |
Dampak selanjutnya pada biaya logistik yang lebih tinggi. Sebab, naiknya harga minyak mentah ditambah pembayaran menggunakan dolar, otomatis biaya logistik semakin mahal bagi pelaku usaha di Indonesia.
Menurut Bhima, ada pula efek domino dari mahalnya bahan baku plus jasa angkutan impor yakni membuat inflasi merangkak naik. Sebab, sebagian kebutuhan pokok dipenuhi dengan impor.
"Kurs rupiah mempengaruhi biaya impor minyak mentah, harga minyak dunia masih mahal, besar kemungkinan harga BBM non subsidi termasuk Peretalite akan terus dinaikkan, imbasnya kemana-mana, salahsatunya ke kenaikan biaya transportasi," jelas dia.
Sedangkan efek selanjutnya, kata Bhima, efek terhadap risiko gagal bayar utang luar negeri swasta. Menurut dia, menguatnya dolar AS membuat swasta menanggung rugi karena membayar cicilan pokok dan bunga lebih mahal.
"Karena tidak semua perusahaan swasta melalukan hedging atau lindung nilai," tutup dia. (dna/dna)