Jakarta -
PT Bursa Efek Indonesia (
BEI) kemarin membekukan sementara
(suspensi) perdagangan 2 saham sekaligus. Kedua saham itu yakni PT Indo-Rama Synthetics Tbk (INDR) dan PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR).
Namun yang menarik adalah alasan penjatuhan suspensi dari kedua saham itu berbeda. Saham INDR disuspensi lantaran adanya peningkatan harga kumulatif yang cukup tinggi, sedangkan BNBR sebaliknya karena harganya anjlok signifikan.
Saham BNBR tercatat sudah turun 75,17% dari perdagangan 4 Juni 2018 di posisi Rp 282 ke level Rp 70 pada perdagangan kemarin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara saham INDR meroket 138,6% dalam periode yang sama, dari Rp 3.510 menjadi Rp 8.375 di penutupan perdagangan kemarin.
Lalu ada apa dengan saham Bakrie & Brothers?
BNBR tercatat sudah turun 75,17% dari perdagang 4 Juni 2018 di posisi Rp 282 ke level Rp 70 pada perdagangan kemarin. Jika ditarik lebih jauh, saham BNBR sebenarnya sudah turun lebih dalam dari posisi Rp 500.
Fakta menarik lainnya saham BNBR sebelumnya sudah tidur cukup lama di level Rp 50 alias gocap. Tiba-tiba saham BNBR bangkit layaknya 'Zombie'.
Saham BNBR keluar dari zona gocap bukan karena memang kinerjanya membaik, melainkan lantaran reverse stock.
Perusahaan melakukan reverse stock dengan rasio 10:1. Itu artinya dari posisi Rp 50 berubah menjadi Rp 500 setelah reverse stock.
Namun sejak reverse stock resmi dilakukan pada 30 Mei 2018, saham BNBR justru turun. Satu hari setelah reverse stock saham BNBR langsung turun ke posisi Rp 376.
Selanjutnya setiap hari perdagangan saham BNBR terus turun. Kini saham BNBR berada di level Rp 70 per saham atau sudah kembali mendekati kembali zona gocap.
Tujuan aksi korporasi reverse stock tentunya untuk meningkatkan nilai saham. Bagi saham gocapan tentu agar sahamnya bisa kembali diperdagangkan dengan harapan harganya terus meningkat.
Namun bagi BNBR malah sebaliknya. Tentu kondisi ini merugikan bagi pemegang saham BNBR.
Mungkin reverse stock bisa menjadi jalan keluar bagi pemegang saham yang sudah lama 'nyangkut' saat saham BNBR di level gocap. Namun tidak bagi yang masih memegang sahamnnya.
Ambil contoh, jika investor memiliki saham BNBR 10 lot ketika harganya Rp 50, dengan begitu portofolio di BNBR Rp 50.000. Setelah reverse stock kepemilikan sahamnya jadi 1 lot namun nilai portofolionya masih sama.
Namun jika kini harganya di level Rp 70, itu artinya nilai portofolio investor tersebut di saham BNBR hanya Rp 7.000. Itu artinya sudah tergerus 86%.
Menurut Analis Senior dari PT Binaartha Sekuritas, Reza Priyambada anjloknya saham BNBR lantaran persepsi pelaku pasar terhadap perusahaan masih negatif.
"Yang namanya pergerakan harga saham, selain ditentukan faktor fundamental emitennya juga persepsi pasar. Masih ada persepsi negatif terhadap Grup Bakrie. Itu yang membuat pelaju pasar melakukan aksi jual," tuturnya saat dihubungi detikFinance.
Dari sisi fundamental kinerja dari BNBR juga semakin negatif. Pada kuartal I-2018 BNBR mengalami rugi bersih Rp 336,71 miliar. Kerugian itu jauh lebih besar dari rugi bersih di kuartal I-2017 sebesar Rp 155,03 miliar.
"Artinya kerugian di kuartal tahun ini hampir 2 kalinya dibandingkan tahun lalu. Ini yang membuat pelaku pasar merespon negatif, bahwa belum ada perbaikan dari BNBR. Kemudian stigma pelaku pasar terhadap Group Bakrie masih negatif," imbuhnya.
Padahal tujuan BNBR melakukan reverse stock dengan rasio 10:1 untuk meningkatkan nilai sahamnya dan bisa kembali diperdagangkan. Setelah mejeng di level Rp 500 saham BNBR justru terus turun hingga saat ini di level Rp 70.
Menurut Reza, saham BNBR berpotensi untuk balik lagi ke level Rp 50, jika tidak ada upaya perbaikan kinerja ataupun rencana aksi korporasi untuk menunjang keuangan perusahaan.
"Ada kemungkinan sepanjang pelaku pasar tidak melihat adanya perbaikan atau berita positif dari BNBR. Setelah dia melakukan reverse stock tidak ada rencana aksi korporasi lagi, padahal itu yang ditunggu pelaku pasar," tuturnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman