-
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi dan Bangunan 2018. Kenaikan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi DKI Jakarta Nomor 24 Tahun 2018, di mana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebut rata-rata kenaikan mencapai 19,54%.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan, ada beberapa alasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menaikkan NJOP. Salah satunya, untuk menjaga keseimbangan antara wilayah satu dengan wilayah lain.
"Untuk menjaga keseimbangan NJOP antar kawasan, kita lakukan penyesuaian agar dipastikan ada keseimbangan dari satu lokasi ke lokasi yang lain walapun berbatasan, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan," kata Sandi.
Lalu, Sandi menuturkan kenaikan ini juga karena adanya perbedaan signifikan antara NJOP dengan harga pasar.
"Terakhir penyesuaian akibat perbedaan antara harga pasar dibandingkan dengan NJOP yang ditetapkan tahun sebelumnya cukup jauh. Ini kita lakukan penyesuaian juga. Kita ingin bagaimana caranya meminimalisir kehilangan potensi PBB tapi juga di BPHTB (bea perolehan hak atas tanah dan atau bangunan)," kata Sandi.
Kemudian, tepatkah langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menaikkan NJOP tahun ini? Berikut ulasannya:
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi dan Bangunan 2018 di mana rata-rata kenaikannya mencapai 19,54%. Kenaikan NJOP saat ini dinilai bukan pada waktu yang tepat.
Executive Director Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda mengatakan, kenaikan NJOP merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Kenaikan NJOP sendiri sejalan dengan naiknya harga properti di pasaran.
NJOP sendiri, lanjutnya, sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
"Jadi tidak bisa menghindari NJOP pasti naik, karena NJOP saat ini dibandingkan harga pasar kan spread-nya besar. NJOP Rp 1 miliar harga jual bisa Rp 2 miliar, semestinya NJOP dengan harga pasar hampir sama," kata dia kepada detikFinance di Jakarta, Senin (9/7/2018).
Namun, dia menuturkan, kenaikan NJOP seperti saat ini bukan pada waktu atau momen yang tepat. Sebab, pasar properti sedang lesu.
Dia menuturkan, yang jadi masalah ialah pemerintah memberikan beban pajak yang tinggi, tapi di sisi lain harga properti sulit naik karena pasar lesu.
"Kenaikan itu memang tidak bisa dihindari tapi momennya tidak tepat. Kenapa, pasar properti masih lesu, gimana mau naikin beban pajak lebih tapi di satu sisi naikin harga nggak bisa, karena pasar lagi lesu," ujarnya.
Apalagi, Ali menambahkan, industri properti juga tertekan karena tren suku bunga yang tinggi.
"Dengan kenaikan suku bunga di BI 5,25% suku bunga akan naik, suku bunga KPR naik, daya beli propertinya akan turun juga. Momennya agak kurang tepat," jelasnya.
Executive Director Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan kenaikan NJOP ini akan membebani pemilik properti atau konsumen. Sebab, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dibayarkan akan semakin tinggi.
Oleh karena itu, Ali menilai pemerintah mesti transparan menjelaskan urgensi dari kenaikan NJOP ini.
"Kita kan mempertanyakan kenapa NJOP tahun ini, kan bisa tahun depan, ada urgent apa, jangan sampai pajak-pajak ini digunakan untuk hal-hal nggak jelas, kita khawatirnya itu," kata dia saat dihubungi detikFinance di Jakarta, Senin (9/7/2018).
Dia menerangkan, kenaikan NJOP memang sesuatu yang tak bisa dihindari. Dia menilai harga pasar properti di Jakarta dan NJOP terlampau jauh. NJOP sendiri menjadi dasar dalam pengenaan pajak.
"NJOP Rp 1 miliar harga jual bisa Rp 2 miliar, semestinya NJOP dengan harga pasar hampir sama," ungkapnya.
Tapi, Ali menuturkan, untuk menaikkan NJOP tahun ini merupakan momen yang tidak tepat. Masalahnya, kata dia, industri properti sedang lesu sehingga menaikan NJOP akan menjadi beban konsumen karena pajak turut naik.
Kemudian, untuk menaikkan harga properti pun juga sulit karena lagi-lagi pasar masih lesu.
"Kenaikan itu tidak bisa dihindari tapi momennya tidak tepat. Kenapa nggak tepat karena pasar properti masih lesu, gimana mau naikin beban pajak lebih, tapi di satu sisi naikin harga nggak bisa karena pasar lagi lesu," jelasnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mesti memberikan insentif supaya industri properti tidak lesu. Insentif ini diperlukan usai Pemerintah Provinsi menaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi dan Bangunan 2018.
Executive Director Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan salah satu opsinya ialah menaikkan batas pembebasan PBB yang saat ini mencapai Rp 1 miliar.
"Ada insentif lain, misalkan dulu yang dibebaskan Rp 1 miliar ke bawah, dinaikkan bisa nggak. Ada insentif ada disinsetif juga. Pajaknya dinaikkan, NJOP-nya misalnya kategori Rp 1,5 miliar misalnya, itu hanya wacana saja," kata dia kepada detikFinance, Senin (9/7/2018).
Pembebasan PBB untuk NJOP sampai dengan Rp 1 miliar ini sudah ada saat Jakarta dipimpin Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Hal itu tercantum pada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 259 Tahun 2015 tentang Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan atas Rumah, Rumah Susun Sederhana Sewa dan Rumah Susun Sederhana Milik dengan Nilai Jual Objek Pajak sampai dengan Rp 1 miliar.
Dalam ketentuan itu dijelaskan, pembebasan PBB-P2 meliputi rumah yang dimiliki pribadi dengan NJOP dasar pengenaan PBB-P2 sampai dengan Rp 1 miliar. Kemudian, rusunami yang dimiliki orang pribadi yang digunakan untuk rumah tinggal dan rusunawa yang dimiliki atau disewakan pemerintah yang telah dilakukan pemecahan unit-unit satuan susun dengan batasan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB-P2 sampai dengan Rp 1 miliar.
Kemudian, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merevisi aturan ini, meski kandungan di dalamnya tak jauh beda. Revisi ini dituangkan dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 25 Tahun 2018. Anies hanya menyisipkan satu pasal dalam aturan ini.
"Wajib Pajak Orang pribadi yang pada tahun sebelumnya telah mendapatkan pembebasan PBB-P2, tetap diberikan pembebasan PBB-P2 berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Gubernur ini," bunyi pasal 5A atau tambahan pasal ini.
Ali melanjutkan, insentif diperlukan untuk meringankan beban masyarakat atas beban pajak.
"Ya mungkin salah satunya yang meringankan, golongan menengah perkotaan masih menikmati diberi kelonggaran lah," ujar Ali.
Menurut Ali, kenaikan NJOP merupakan hal yang mesti dilakukan. Sebab, selisih harga properti di pasaran dan NJOP terlampu tinggi.
Tapi, kenaikan NJOP pada tahun ini merupakan momen yang tidak tepat. Sebab, industri properti sedang lesu.
Hal itu ditambah dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang saat ini mencapai 5,25%. Kenaikan ini juga akan memicu kenaikan suku bunga KPR.
Menurut Ali, kenaikan suku bunga membuat pelonggaran kebijakan loan to value (LTV) atau uang muka menjadi tidak efektif.
"Itu pun (LTV) saya usulkan 2015, kita usulkan seperti itu, karena tren bunga menurun, daya beli cukup bagus dilonggarin di situ sekaligus. Kalau sekarang kan lucu ketika lesu dilonggarkan semestinya bagus, tapi suku bunga naik jadi nggak ada gunanya. Kalau tanpa DP cicilan naik, suku bunga naik lebih naik lagi," tutupnya.
Senior Associate Director Colliers International, Ferry Salanto menerangkan, kenaikan NJOP akan berpengaruh pada kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sementara, dalam sewa apartemen terdapat dua komponen yang dibayarkan konsumen yakni sewa apartemen itu sendiri dan biaya operasional (service charge).
Menurutnya, biaya operasional ini bisa kena dampak karena kenaikan NJOP ini. Sebab, komponen PBB biasanya masuk di biaya operasional.
"Kan operation cost ada biaya listrik, tenaga kerja, setiap kenaikan UMP itu bisa mempengaruhi service charge, ada lagi komponen pajak PBB," kata dia kepada detikFinance, Selasa (10/7/2018).
Namun, pihaknya tak bisa merinci dampak kenaikan PBB terhadap biaya operasional. Sebab, pihaknya tak mengetahui porsi PBB dalam biaya operasional tersebut.
Portofolio Manager Colliers International Moehamad Djuni Duwijanto mengatakan, PBB masuk dalam komponen biaya operasional sewa apartemen. Dengan naiknya PBB, maka biaya operasional yang dibayarkan juga ikut naik.
"Kalau yang di-lease atau sewa komersil itu pengaruh ke service charge, karena kan harus ditagihin ke tenant," ungkapnya.
Soal pengaruh PBB ke besarnya kenaikan biaya operasional, Djuni tak mengetahui. Sebab, kenaikan biaya operasional tergantung dari pemilik hunian.
"Kalau sewa itu yang menentukan developer, ownernya, kita nggak ada rule untuk data-data penggunaan service charge ke konsumen. Tergantung si-ownernya dia menentukan untuk berapa, tapi yang jelas pasti meningkat karena cost-nya naik lagi," tutupnya.