Rizal Ramli Sebut Ekonomi RI Lampu Setengah Merah, Ini Kata Kemenkeu

Rizal Ramli Sebut Ekonomi RI Lampu Setengah Merah, Ini Kata Kemenkeu

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Sabtu, 14 Jul 2018 17:40 WIB
Ekonom Rizal Ramli/Foto: Agung Pambudhy
Jakarta - Ekonomi Indonesia disebut Rizal Ramli sudah masuk kategori lampu setengah merah. Hal ini disampaikan saat Rizal Ramli menjadi pembicara dalam dialog Sekber Indonesia, Rabu (11/7/2018). Dalam dialog, RR membahas tentang Credit Default Swap (CDS) yang meningkat dan ia juga membahas country vulnerability index atau indeks kerentanan.

Bagaimana sebenarnya kondisi ekonomi RI?

Kementerian Keuangan melalui Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti menjelaskan CDS di sebuah negara menunjukkan pandangan pasar keuangan terhadap risiko kredit suatu entitas, yang terbagi dalam jangka waktu (tenor) tertentu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jadi, semakin tinggi rasio CDS making tinggi risiko kreditnya dan menimbulkan potensi gagal bayar. Dia menyebut, sejak 2018 hingga 11 Juli 2018, CDS Indonesia untuk jangka waktu 10 tahun telah naik 57 basis poin (bps) menjadi 211,16 bps. Kemudian untuk tenor atau jangka waktu 5 tahun meningkat 41,52 bps menjadi 126,52 bps.


"Kondisi CDS tenor 10 tahun saat ini masih lebih rendah dibandingkan kondisi di akhir tahun 2016 sebesar 225,33 bps, demikian juga untuk CDS tenor 5 tahun di akhir tahun 2016 sebesar 157,55 bps. Perubahan kondisi CDS Indonesia selama tahun ini masih dalam batas aman," kata Nufransa dikutip dari laman Facebooknya, Sabtu (14/7/2018).

Dia mengungkapkan, jumlah ini masih lebih baik jika dibandingkan saat krisis keuangan global pada 2008. Saat itu CDS Indonesia mencapai rekor tertinggi yakni 1295 bps untuk tenor 10 tahun dan 1256,7 bps untuk tenor 5 tahun. Kemudian jika dibandingkan lagi dengan negara peers lain, kondisi CDS tenor 10 tahun Indonesia saat ini (data 11 Juli 2018) juga masih relatif lebih baik, seperti misalnya Turki (397,92 bps), Brazil (356,53 bps), dan Vietnam (227,53 bps).


"Pemerintah senantiasa memantau pergerakan CDS karena erat kaitannya dengan yield Surat Berharga Negara (SBN). Dalam kondisi saat ini, dimana investor dan pelaku pasar masih wait and see atas perubahan kondisi perekonomian yang menuju keseimbangan baru, perilaku pelaku pasar cenderung mixed," jelas dia.

Saat ini, CDS Indonesia malah menunjukkan penurunan untuk tenor 5 tahun turun 6 bps dan 10 tahun turun 11 bps. Penurunan terjadi karena mulai menurunnya yield atau imbal hasil surat berharga negara (SBN)."Sebagai informasi kepada Pak RR, Indonesia juga tidak pernah default dalam melakukan pembayaran utang," imbuh dia.


Setelah CDS, dalam diskusi RR juga membahas tentang External Vulnerability Indicator (EVI). Dia menyampaikan EVI merupakan indikator yang menunjukkan kerentanan suatu negara ditinjau dari rasio utang luar negeri jangka pendek, utang luar negeri jangka panjang yang akan jatuh tempo dan deposito asing selama setahun terhadap cadangan devisa. Indikator ini dikeluarkan setahun sekali.

Prediksi indikator untuk tahun 2018 yang dipublikasikan oleh lembaga rating Moody's berdasarkan wawancaranya di Bloomberg menyebutkan bahwa EVI Indonesia untuk tahun 2018 berada pada 51,3%, sementara India 74,2% dan Malaysia 145,6%. Jika dibilang Indonesia nomor 2 terburuk, mungkin Pak RR salah membaca artikel Bloomberg tersebut, yang memang tidak menyebutkan semua negara (terutama di Asia) secara utuh.


Kondisi EVI Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini berkisar antara 50,9% (2003) hingga 71,1% (2010). Sebagai gambaran, EVI Indonesia tiga tahun terakhir adalah tahun 61,7% (2014), 58,8% (2015), 52,5% (2016), dan 50,3% (2017). "Dapat dilihat bahwa terjadi penurunan dalam tiga tahun terakhir, mencerminkan kondisi Indonesia yang masih cukup aman," ujarnya.

Artikel yang dibahas oleh Pak RR merupakan artikel Bloomberg pada akhir Mei lalu. Artikel tersebut tepat untuk menggambarkan kondisi di bulan itu yang memberikan shock kepada pasar keuangan global di tengah rencana The Fed menaikkan suku bunganya pada FOMC Meeting bulan Juni 2018.


Pemerintah tidak hanya memantau angka EVI secara agregat, namun juga komponen-komponen penyusun indikator tersebut dan indikator-indikator terkait lainnya, seperti refinancing risk dan currency risk utang pemerintah.

"Dari data dan fakta tersebut di atas, tidak ada lampu merah. Mungkin Pak RR melewati jalan lain sehingga bertemu lampu merah," jelas dia. (hns/hns)

Hide Ads