-
Krisis mata uang kini tengah melanda Turki. Kondisi tersebut dikarenakan adanya tekanan dari Amerika Serikat (AS).
Diketahui, tekanan tersebut terjadi ketika permintaan Presiden AS Donald Trump untuk melepaskan salah satu pendeta asal AS yang ditahan pemerintah Turki ditolak.
Trump pun tak kunjung diam. Pihaknya menggandalan tarif impor baja dan alumunium dari Turki. Impor alumunium menjadi 20% sedangkan baja menjadi 50%.
Kondisi tersebut langsung membuat mata uang lira anjlok cukup dalam. Bahkan sejak awal tahun lira telah jatuh hingga 66%.
Namun ternyata, krisis tersebut dinilai tidak akan berdampak hingga ke Indonesia.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan pada dasarnya Indonesia dan Turki memiliki hubungan perdagangan yang tidak terlalu menonjol. Sebab saat ini nilai perdagangan dengan Turki masih tergolong kecil.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, total ekspor-impor Indonesia dengan Turki pada tahun 2016 mencapai US$ 1,33 miliar atau surplus bagi Indonesia sebesar US$ 712,9 juta.
Dengan begitu, dampak krisis mata uang tersebut dinilai tidak akan berpengaruh langsung terhadap ekonomi Indonesia.
"Dampak langsung sih kalau saya lihat untuk perdagangan nggak terlalalu signifikan. Karena nggak berkaitan langsung kan kita (untuk perdagangannya)," kata dia kepada detikFinance, Senin (20/8/2018).
Josua memaparkan, dampak yang terasa terjadi pada nilai tukar rupiah, yakni mengalami pelemahan. Namun, hal tersebut langsung direspons oleh Bank Indonesia (BI) dengan menaikkan tingkat suku bunga.
Alhasil, pelemahan yang terjadi pada rupiah tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan Turki.
"Jadi yang cukup bergejolak Indonesia itu melemah (nilai tukarnya), kalau dilihat hanya melemah 7%-an. Hal ini karena BI langsung responsif mengambil langkah menaikkan tingkat suku bunga dengan cepat. Jadi nggak berlanjut (pelemahannya)," tutup dia.
China menawarkan bantuan kepada Turki yang saat ini tengah mengalami krisis mata uang. Namun, bantuan tersebut dianggap sebagai obat temporer karena ada efek sampingnya, yakni dominasi China.
Efek samping itu bisa dilihat dari pengalaman sejumlah negara yang pernah mendapatkan bantuan dari China. Siapa saja?
Dikutip detikFinance dari CNBC, Senin (20/8/2018) lembaga Center for Global Development (CGD), menilai ada 8 dari 23 negara yang berpotensi mengalami kesulitan pembayaran utang ke China melalui bantuan untuk pembangunan infrastruktur belt and road initiative (BRI).
Adapun, negara tersebut adalah Pakistan, Djibouti, Maladewa, Laos, Mongolia, Montenegro, Pakistan, dan Kyrgzstan.
Menurut CGD, dari keenam negara tersebut, Pakistan menjadi negara dengan risiko paling tinggi karena bantuan utang China membiayai 80% atau sekitar US$ 62 miliar dari proyek yang dikerjakan.
"Proyek besar BRI dan tingkat suku bunga yang tinggi oleh China menambah beban Pakistan dalam pembayaran utang," tulis CGD.
Selain itu, ada pula Laos yang dianggap berisiko. Pasalnya, negara tersebut mendapatkan bantuan utang dalam proyek kereta China-Laos senilai US$ 6,7 miliar atau setara dengan produk domestik bruto (PDB) negara tersebut.
CGD pun mengingatkan bahwa bantuan China memiliki rekam jejak yang bermasalah.
"Tidak seperti pemberi utang pemerintahan yang lainnya. China tidak memberikan bantuan utang syarat yang mengikat pada awalnya tapi waktu jatuh tempo masalah utang pun muncul," tutup dia.
China menawarkan bantuan ke beberapa negara-negara yang tengah krisis seperti Turki saat ini. Namun, bantuan tersebut tak selalu berujung manis, Sri Lanka contohnya. Bantuan yang diberikan China malah berujung buntung karena Sri Lanka malah harus merelakan pelabuhan dan bandara miliknya untuk dikelola China.
Dikutip dari CNN Money, Senin (20/8/2018) China diketahui membiayai proyek pelabuhan Hambantota yang terletak di pantai Selatan Sri Lanka melalui bantuan utang sebesar US$ 1,5 miliar. Bantuan tersebut diberikan pada tahun 2010.
Namun, pada 2017 Sri Lanka harus merelakan pelabuhan tersebut kepada China karena tidak mampu membayar utangnya. Keputusan tersebut dilakukan dengan menandatangani kontrak untuk melayani perusahaan milik negara China selama 99 tahun.
Pasalnya, kala itu Sri Lanka tercatat memiliki utang sebesar US$ 8 miliar kepada China. Bila dihitung, untuk membayar utang laur negeri kepada China dan negara lain akan menghabiskan 94% dari produk domestik bruto (PDB) Sri Lanka.
Analis Senior di Australian Strategic Policy Institue, Malcolm Davis menilai langkah China mengambil alih pelabuhan tersebut menguntungkan. Sebab dengan begitu China bisa memiliki keuntungan untuk mengekspor barang ke India lebih mudah.
"Pelabuhan itu tidak hanya menjadi jalur yang strategis ke India bagi China, tetapi juga memberi China posisi yang menguntungkan untuk mengekspor barang-barangnya ke dalam lingkup ekonomi India, sehingga mencapai sejumlah tujuan strategis dalam hal itu," jelasnya.
Selain bantuan dari China, Turki memiliki pilihan lain dibanding harus mengambil bantuan tersebut.
Menurut Ekonom Bank Permata Josua Pardede, pada dasarnya krisis yang melanda Turki dikarenakan fundamental ekonomi yang tidak terkendali. Pasalnya, pemerintahan Turki saat ini tengah menggenjot pertumbuhan ekonomi sehingga menimbulkan defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) yang lebar.
"Jadi memang krisis ini karena fundamental yang buruk. Karena kebijakan sangat mendorong pertumbuhan dan mereka lupa defisit transaksi berjalan melebar hampir 6%," kata dia kepada detikFinance, Senin (20/8/2018).
Dari permasalahan tersebut, Joshua menilai perlu adanya perbaikan dari bank sentral Turki, yakni dengan menaikkan tingkat suku bunga. Dengan begitu diharapkan lira atau mata uang Turki bisa kembali menguat.
Pasalnya, saat ini bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed berencana untuk menaikkan beberapa kali lagi suku bunga yang tentu akan berdampak pada nilai tukar mata uang negara berkembang termasuk lira milik turki.
"Memang solusi dari dalam negeri harus didorong. Jadi salah satunya dibenahi fiskal dulu dengan menaikkan suku bunga. Kalau tidak, lira akan terus melemah Karena dalam setahun ini dipengaruhi The Fed dan perang dagang AS-China," sambung dia.
Walaupun begitu, menarik investasi dari luar, dengan utang dari bilateral seperti China maupun dari multilateral seperti World Bank bisa jadi solusi pamungkas bila berbagai upaya sebelumnya dinilai kurang ampuh.
"Ya tadi, kalau dilihat sejauh mana. Kalau sudah dinaikkan nggak berhasil, ya tentunya mau nggak mau investasi dari bilateral supaya ada menutupi CAD kan perlu investasi dan investasi bentuk dari utang bilateral seperti China atau multilateral seperti World Bank atau IMF," tutup dia.
Tak hanya China, Jerman juga membuka peluang untuk membantu krisis yang sedang dialami oleh Turki.
Hal tersebut diungkapkan oleh politikus Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD), Andrea Nahles. Ia mengatakan Jerman perlu ikut membantu karena Turki merupakan anggota dari North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Menurut Nahles, bantuan tersebut akan dilakukan tanpa memandang kondisi politik kedua negara. Dengan begitu, ekonomi Turki bisa membaik dan menguatkan kembali nilai tukar mata uang lira.
"Akan ada situasi di mana Jerman perlu membantu Turki, terlepas dari ketegangan politik dengan Presiden Racep Tayyip Erdogan. Turki adalah mitra NATO yang tidak dapat kita abaikan. Penting bagi semua pihak bahwa ekonomi Turki tetap stabil agar dapat mengatasi krisis mata uangnya," kata dia dikutip dari Reuters, Senin (20/8/2018).
Kemudian, Nahles juga mengungkapkan bahwa Erdogan akan berkunjung ke Jerman pada September mendatang. Jadwal kunjungan tersebut dianggap sebagai langkah tepat untuk membicarakan dukungan tersebut.
rencananya, dalam pertemuan nanti pihaknya juga akan membicarakan hal lain terkait kondisi politik terkait penangkapan dan penahanan warga Jerman oleh pemerintah Turki
'Pemerintah federal harus tetap berdialog dengan Turki di semua level. Harapan saya kepada kanselir Jerman adalah isu-isu penting lainnya juga akan dibahas. Khususnya, terkait penangkapan dan penahanan beberapa warga Jerman oleh pemerintah Turki," tutup dia.