Kepala Pusat Studi Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) Tony Prasentiantono menjelaskan meskipun sudah ada penguatan rupiah, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus tetap waspada karena ada faktor eksternal.
Kemudian pemerintah juga harus berhemat devisa dengan melakukan pemilihan proyek-proyek yang menggunakan sedikit devisa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengungkapkan pemerintah juga harus berupaya melakukan pemangkasan impor agar current account deficit bisa ditekan menjadi di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Proyek-proyek tersebut harus dijadwalkan ulang.
Tony menjelaskan pemerintah memang tidak bisa melakukan peningkatan ekspor dalam waktu sekejap. Namun, jika impor bisa direm dengan cepat.
Dia menambahkan masyarakat tidak perlu panik dengan kondisi yang terjadi saat ini. Tidak perlu percaya dengan pesan-pesan yang beredar di jejaring sosial dan pesan instan.
Menurut Tony perbankan pada 1998 hancur lebur dan collapsed, insolved dan permodalan negatif. Saat ini laba bank kian gemuk, permodalan aman dengan capital adequacy ratio (CAR) sebesar 22%.
"Rasio kredit bermasalah terkendali di posisi 3%. Perbankan yang hancur menyeret keruntuhan ekonomi 1998. Kalau sekarang kan tidak. Perbankan masih performed dan menyalurkan kredit," jelas dia.
Dia menjelaskan dulu BI untuk mencegah aliran modal asing keluar dari Indonesia terpaksa menaikkan suku bunga hingga 60%. Sekarang suku bunga acuan hanya 5,5%.
"Kalaupun nanti dinaikkan, perkiraan saya bisa sampai 6-7% masih logis dan 'kalem' dan tidak panik," ujarnya. (kil/ara)