Hal itu dkemukankannya pada saat rapat kerja (raker) pemerintah dengan Komisi XI DPR tentang RAPBN tahun anggaran 2019.
"Tanggal 7 September 2018 tercatat Rp 14.848 per US$. Kalau dihitung rata-rata dari Januari adalah Rp 13.977 per US$, ini rata-rata 8 bulan plus 7 hari," kata Sri Mulyani di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (10/9/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga mengungkapkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan dipengaruhi oleh normalisasi kebijakan moneter di negeri Paman Sam, ditambah dengan perang dagang.
Dia menceritakan, arus modal yang keluar atau capital outflow mayoritas dialami oleh negara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Hal itu juga akan berdampak pada transaksi berjalan yang saat ini masih mengalami defisit.
"Dua tahun lalu capital inflow US$ 29 miliar sehingga bisa dibiayai CAD. Namun 2018 dinamika berubah, capital inflow tidak sekuat 2016 dan 2017, inilah yang diwaspadai, di AS versus mitra dagangnya, kebijakan moneter yang cenderung meningkat dan capital outflow. Itu yang menentukan sentimen ke rupiah kita," jelas dia.
Oleh karenanya, Bendahara negara ini meminta kepada seluruh anggota Komisi XI untuk membahas lebih dalam lagi terkait dengan nilai tukar, khususnya harus ada perubahan atau tidak.
"Ini yang perlu dibahas, untuk mendapatkan angka paling kredibel, namun tetap confident yang menjadi dasar, tentu kurs domainnya BI, namun diperlukan untuk menghitung konsekuensi dari belanja dan penerimaan," ungkap dia.
Pemerintah menyampaikan asumsi dasar di tahun 2019 seperti pertumbuhan ekonomi tetap sebesar 5,3%, tingkat inflasi di level 3,5%, nilai tukar Rp 14.400 per US$, dan tingkat suku bunga SPN 5,3%.
Saksikan juga video 'Soal Imbas Krisis Turki, Sri Mulyani: Ekonomi RI Kita Jaga':
(hek/eds)