-
Kinerja pemerintah dalam menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara (
) tahun anggaran 2018 terbilang cukup baik.
Hal itu tergambar dari realisasi penerimaan negara yang sudah mencapai 60,8% dari target. Capaian tersebut juga terbilang baik karena kondisi perekonomian nasional masih dibayangi ketidakpastian global, khususnya rupiah yang terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Penerimaan yang sudah lebih dari setengah target ini pun memberikan perbaikan terhadap sisi defisit anggaran dan keseimbangan primer atau
.
Defisit anggaran per Agustus 2018 pun jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2017. Bahkan, keseimbangan primer tercatat surplus belasan triliun.
Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati mengatakan nilai defisit anggaran sampai 31 Agustus 2018 sekitar Rp 150 triliun. Hal itu diungkapkan pada saat rapat kerja (raker) pemerintah bersama Komisi XI DPR tentang RAPBN tahun anggaran 2019.
Sri Mulyani mengatakan realisasi defisit anggaran per 31 Agustus 2018 tersebut lebih rendah dibandingkan pada periode yang sama tahun 2017.
"Defisit (anggaran) Rp 150 triliun, tahun lalu Rp 220 triliun, ini perbaikan postur (APBN) kita," kata Sri Mulyani di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (10/9/2018).
Perbaikan defisit anggaran juga menular terhadap keseimbangan primer atau primary balance yang sampai 31 Agustus 2018 surplus sekitar Rp 11 triliun.
"Tahun lalu, primary deficit Rp 84 triliun, dan menjadi 11 triliun. Perbaikannya jauh lebih nyata," ungkap dia.
Sri Mulyani mengatakan penerimaan negara sampai 31 Agustus 2018 telah mencapai Rp 1.152,7 triliun atau 60,8% dari target Rp 1.894,7 triliun.
"Realisasi penerimaan kita Rp 1.152,7 triliun untuk 2018, atau 60,8% dari total penerimaan," ujar Sri Mulyani di raung rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (10/9/2018).
Sri Mulyani menjelaskan realisasi penerimaan negara ini juga dikarenakan pertumbuhan penerimaan sektor perpajakan yang mencapai 16,5% per 31 Agustus 2018, serta PNBP yang tumbuh 23,4%.
"Jadi semuanya meningkat dan domestik revenue melonjak," terang Sri Mulyani.
"Ini pertumbuhan yang tinggi, dibanding tahun lalu untuk perpajakan per Agustus tahun lalu hanya 9,5%, sekarang kita 16,5%, PNBP kita kan tahun lalu 22%, dengan kenaikan grossnya sekarang 24%," tutur Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terhitung dari Januari sampai 7 September 2018 sebesar Rp 13.977 per US$.
"Tanggal 7 September 2018 tercatat Rp 14.848 per US$. Kalau dihitung rata-rata dari Januari adalah Rp 13.977 per US$, ini rata-rata 8 bulan plus 7 hari," kata Sri Mulyani di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (10/9/2018).
Sri Mulyani mengatakan nilai rata-rata kumulatif rupiah yang sebesar Rp 13.977 per US$ itu pun masih di bawah dari asumsi nilai tukar pada tahun depan yang ditetapkan dalam RAPBN sebesar Rp 14.400 per US$.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga mengungkapkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan dipengaruhi oleh normalisasi kebijakan moneter di negeri Paman Sam ditambah dengan perang dagang.
Dia menceritakan, arus modal yang keluar atau capital outflow mayoritas dialami oleh negara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Hal itu juga akan berdampak pada transaksi berjalan yang saat ini masih mengalami defisit.
"Dua tahun lalu capital inflow US$ 29 miliar sehingga bisa dibiayai CAD. Namun 2018 dinamika berubah, capital inflow tidak sekuat 2016 dan 2017, inilah yang diwaspadai, di AS versus mitra dagangnya, kebijakan moneter yang cenderung meningkat dan capital outflow. Itu yang menentukan sentimen ke rupiah kita," jelas dia.
Oleh karenanya, Bendahara negara ini meminta kepada seluruh anggota Komisi XI DPR RI untuk membahas lebih dalam lagi terkait dengan nilai tukar, khususnya harus ada perubahan atau tidak.
Sri Mulyani memastikan bahwa target pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2019 tetap sebesar 5,3% atau sesuai dengan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pidato nota keuangan. Target pertumbuhan ini tidak diubah meski saat ini tantangan dari global terus menekan mata uang rupiah.
Sri Mulyani menceritakan, tantangan perekonomian Indonesia dan negara berembang lainnya masih didominasi dari eksternal, yakni perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China, kebijakan normalisasi moneter AS mulai dari kenaikan suku bunga dan pengembalian arus modal keluar dari negara berkembang.
"Untuk 2019, kami masih menggunakan growth 5,3%," kata Sri Mulyani di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (10/9/2018).
Komposisi pertumbuhan ekonomi tersebut, kata Sri Mulyani akan ditopang oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga di level 5,1%, konsumsi pemerintah 5,4%, investasi di level 7%, ekspor 6,3%, dan impor 7,1%.
"Ini nggak berubah dari nota keuangan, karena untuk menghadapi down size risk," jelas dia.
Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,3% di 2019 juga tidak beda jauh dengan ramalan dari lembaga internasional.
Seperti Bank Dunia yang memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,2%, OECD sebesar 5,3%, IDB sebesar 5,3%, dan IMF sebesar 5,4%.