Warga desa Cijengkol Kabupaten Bekasi, Akbar Wistiawan mengaku, tanah miliknya terkena dampak pembangunan jalan tol. Lahannya diratakan (dikliring) untuk akses proyek namun belum mendapat ganti rugi.
"Sekarang malah ada pembangunan, dikliring," kata dia kepada detikFinance lewat sambungan telepon, Jumat (14/9/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tanah Ini Belum Dibayar Ganti Untung," tulis spanduk yang ia pasang.
Akbar bercerita, permasalah lahan untuk pembangunan tol sudah muncul sejak tahun 2015. Kala itu, pengukuran lahan di wilayahnya dilakukan tanpa ada sosialisasi kepada warga sekitar.
Lalu, di tahun 2016 warga diundang untuk bermusyawarah serta ditawarkan harga ganti rugi lahan. Namun, warga tidak diberikan kesempatan mengevaluasi harga sehingga menolaknya.
Dalam penawaran tersebut, dia mengatakan, lahan warga ditawarkan paling rendah sebesar Rp 400 ribu per m2 dan paling tinggi Rp 1,3 juta per m2. Padahal, transaksi yang pernah terjadi di sekitar wilayah tersebut mencapai Rp 4,9 juta per m2.
"Akhirnya itu kami diberikan di bulan Juli-September 2016 kan undangannya musyawarah bentuk dan besarnya nilai ganti kerugian. Jadi kita diundang dibagikan amplop sepihak jatuhnya," ujarnya.
"Jadi istilahnya tidak ada penyelesaian pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan PPK itu PUPR (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) pejabat pembuat komitmen. Tidak ada penyelesaian sampai saat ini. Ada beberapa bidang, termasuk bidang saya yang sudah dikliring dan digarap buat jalan tanpa belum menerima ganti kerugian," jelasnya.
Hingga saat ini, masalah pembebasan lahan ini masih belum menemui titik terang alias menggantung. Lanjutnya, lahan yang belum ada kepastian pembebasan lahan ini ada 39 bidang di mana pemilik lahannya kemudian membentuk forum warga bernama Forum 39.
"Kita bertahan, dan menolak bentuknya musyawarah karena sepihak. Dan nilainya tidak mencerminkan undang-undang nilai ganti untung," tutupnya.
Baca juga: Penampakan Terkini Pembangunan Tol Cimaci |