Warga kampung sudah sangat mengenalnya sebagai pegawai BRI yang bolak-balik memberi kredit pinjaman.
"Setiap hari ya keliling kampung-kampung cari nasabah-nasabah yang rata-rata petani sirih atau pinang," ucap Amiruddin kepada detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sering karena terpaksa harus lewat jembatan dari papan kayu yang sudah lapuk. Di bawahnya masih banyak buaya. Kadang survei itu ya kudu lewat pinggir jurang dan lembah, belum soal malaria. Kalau ditanya motor mogok, sudah sering," kata Amriuddin yang sehari-harinya mengandalkan motor trail untuk menjangkau para nasabahnya.
Amiruddin mengaku, selain soal kendala geografis, dirinya juga harus pintar-pintar membaca situasi di perkampungan pedalaman. Sebagai Mantri BRI, tugasnya tak hanya sebagai pencari nasabah untuk diberikan kredit, dirinya juga harus menagih nasabah saat kreditnya sudah jatuh tempo.
"Sering mau nagih utang, debiturnya masih mabuk. Kita mau nagih malah dimintai duit. Kalau sudah bawa parang, ya mending lari saja, datang kalau lagi kalau sudah dia tenang," kata Amiruddin.
![]() |
"Sering juga ketemu preman kampung. Kalau sudah begitu. Di tengah hutan, bawa senjata rakitan yang minta uang. Kalau sudah begitu, kasihkan rokok saja supaya dikasi lewat," ungkap Amiruddin yang sebelumnya ditugasi jadi customer service.
Amiruddin bercerita, meski kampung-kampung nasabahnya berada di pedalaman, selama ini dirinya tak menemui kesulitan berarti dalam urusan kemampuan pelunasan kredit debitur BRI yang rata-rata petani tersebut.
"Petani sirih kebanyakan, tapi tanahnya di atas berhektar-hektar. Kemudian petani sirih, kalau panen dapat 10 kg saja dijual harganya Rp 1 juta," ungkap Amiruddin.
Simak terus cerita-cerita menarik dari Tapal Batas detikcom! (ega/fdl)