Perry menyebut di 2018 ini memang banyak perubahan di AS yang menyebabkan mata uang negara lain melemah termasuk rupiah.
Pertama, pola pertumbuhan ekonomi dunia saat ini tidak lagi tumbuh secara merata. Sementara dulu pertumbuhan ekonomi merata antara negara maju dan berkembang. Hal ini menimbulkan ketidakpastian global.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, Bank Sentral AS terus menaikkan suku bunga yang diperkirakan Desember akan naik lagi. Sementara negara-negara lain belum menaikkan suku bunganya. Karenanya, investor global menarik dananya dari negara berkembang dan menaruhnya ke AS.
"Dua faktor ini yang menimbulkan kenapa dolarnya the only curency mata uang yang kuat. Itu lah kenapa aliran dana keluar dari emerging market termasuk Indonesia di bawa ke Amerika," paparnya.
"Itu menyebabkan kenapa memang seluruh dunia mengalami tekanan nilai tukar tidak hanya karena dolar strong tapi juga aliran modal yang deras," sambungnya.
Kondisi tersebut diperparah dengan perang dagang antara AS dan China. Memanasnya hubungan dagang kedua negara itu membuat kepastian global semakin menurun.
"Ketiga yang tiupan angin global yang sulit diprediksi, tambah kencang, tambah kencang yaitu perang dagang Amerika dan China," sebutnya.
Oleh karena itu, BI bersama pemerintah harus bisa merespon perubahan tersebut dengan cepat.
"(Perang dagang) ini tiupan angin tambah kencang tapi sulit diprediksi. Kalau yang 2 itu bisa lihat perkiraan seperti apa dan merespons. Ketiga (faktor) ini kita harus terus lakukan medical checkup," tambahnya. (zlf/zlf)