Maskapai pelat merah ini dalam kondisi 'mati suri' saat ini. Merpati berhenti operasi sejak tahun 2014 dan menanggung utang sampai Rp 10,72 triliun.
Upaya penyelamatan memang masih berjalan. Upaya yang ditempuh yakni berdamai dengan para kreditur, termasuk di dalamnya mendatangkan investor guna menghidupkan Merpati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
17 Oktober Tanggal Keramat Merpati
Foto: Luthfy Syahban/infografis
|
PKPU ini menentukan nasib maskapai yang pernah berjaya di era tahun 1990-an, apakah bangkit dari mati suri atau benar-benar mati.
Sekretaris Perusahaan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Edi Winarto menerangkan, sidang PKPU mulanya akan terlaksana pada 3 Oktober 2018.
"3 Oktober rencana, karena masih belum ada kesepakatan diundur lagi tanggal 17 Oktober. Setelah tanggal 17 masih ada kesempatan lagi perpanjangan kalau misalnya belum selesai," kata dia kepada detikFinance, Kamis (4/10/2018).
Dia mengatakan, mundurnya sidang tak lain karena proposal perdamaian yang ditawarkan Merpati belum membuat kreditur yakin.
"Ada proposal perdamaian, kalau misalnya para kreditur belum yakin, dia mengambil keputusan belum yakin juga. Untuk disetujuinya proposal perdamaian, kreditur harus yakin," ujarnya.
Dia melanjutkan, adanya penundaan ini memberikan kesempatan bagi Merpati untuk memperbaiki proposal perdamaiannya.
"Kemarin apa yang disampaikan, mungkin belum memberikan keyakinan kreditur sehingga ditunda lagi. Memberikan kesempatan Merpati memperbaiki proposalnya," katanya.
Untuk diketahui, Merpati saat ini dalam keadaan mati suri. Maskapai ini telah berhenti operasi sejak tahun 2014. Kemudian, Sertifikat Izin Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal (SIUAU/NB) telah dicabut sejak tahun 2015.
Merpati tumbang karena masalah keuangan. Beban kewajiban Merpati saat ini sebesar Rp 10,72 triliun dengan aset hanya Rp 1,21 triliun. Ekuitas Merpati tercatat Rp 9,51 triliun.
Alasan Sidang Ditunda
Foto: dokumentasi Merpati Nusantara Airlines
|
Sekretaris Perusahaan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Edi Winarto mengatakan, poin yang masih belum menemui kesepakatan ialah terkait masalah utang subsidiary loan agreement (SLA).
"Yang masih berat, salah satunya adalah mengenai yang utang SLA. Jumlahnya cukup besar," kata dia kepada detikFinance, seperti ditulis Jumat (5/10/2018).
Dia menerangkan, dalam proposal perdamaian, investor yang berniat menyuntikkan modal Merpati ingin supaya bunga dan denda SLA dihapus. Padahal, itu butuh proses panjang.
"Dari calon investor minta supaya bunga denda dihapus. Kalau penghapusan tidak gampang, kan ada persetujuan, kan cukup besar, sampai level DPR jadi kan agak repot memang, mengenai utang," terangnya.
Edi mengaku tak hafal nilai bunga dan denda SLA tersebut. Dia mengatakan, masalah bunga dan denda ini yang membuat kreditur ragu terhadap proposal perdamaian.
"Calon investor menginginkan bunga dan denda dihapus. Tapi dari Kemenkeu itu belum bisa menghapus, sehingga belum ketemu," tutupnya.
Investor akan Suntik Modal Rp 6,4 Triliun
Foto: Andhika Akbarayansyah/Infografis
|
Mengutip laman resmi PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) (PPA), penandatangan perjanjian transaksi modal bersyarat antara Merpati dan IAC sudah terselenggara pada 29 Agustus 2018.
Dalam perjanjian ini, IAC selaku mitra strategis terpilih akan menyetor modal sebesar Rp 6,4 triliun dalam waktu dua tahun.
"Perjanjian ini secara garis besar berisi komitmen PT IAC, selaku mitra strategis terpilih, untuk menyetorkan modal sebesar Rp 6.400.000.000.000,- (enam triliun empat ratus miliar rupiah) dalam 2 tahun setelah seluruh persyaratan terpenuhi," tulis keterangan PPA seperti dikutip detikFinance, Jumat (5/10/2018).
Pelaksanaan penandatanganan perjanjian ini merupakan bagian rangkaian kegiatan Merpati dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) agar dapat menyusun proposal perdamaian yang berisi skema restrukturisasi utang para kreditur sebagaimana putusan Pengadilan Niaga Surabaya.
"Tujuan penandatanganan ini adalah untuk menuangkan kesepakatan mitra strategis yang akan mendukung agar PT MNA beroperasi kembali dan dapat melakukan pembayaran kepada krediturnya melalui skema penyetoran modal saham bersyarat ke PT MNA agar dapat menjadi pemegang saham mayoritas PT MNA," lanjut keterangan tersebut.
Perjanjian ini ditandatangani Direktur PT MNA Asep Ekanugraha dan Direktur PT IAC Kim Johanes Mulia dihadapan Notaris Mohamat Hatta. Lalu, disaksikan Direktur Utama PPA Henry Sihotang, Direktur Konsultasi Bisnis dan Aset Manajemen PPA Andi Saddawero, Kepala Bidang Restrukturisasi Kementerian BUMN Aditya Dharwantara.
Merpati Terbang Lagi Tahun 2020
Foto: Luthfy Syahban/infografis
|
Demikian disampaikan Sekretaris Perusahaan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Edi Winarto kepada detikFinance, seperti ditulis Jumat (5/10/2018).
"Tahun 2020-an lah, kan itu perlu perizinan, mungkin proses pembelian pesawat," ujarnya.
Dia menerangkan, saat ini terdapat investor yang berniat menyuntik modal maskapai pelat merah ini. Modal yang bakal disuntikkan sekitar Rp 6,4 triliun.
Lanjutnya, adapun skema masuknya modal ini ialah melalui konversi utang menjadi saham.
"Skema yang diajukan ada, debt to equity convertion, jadi utang piutang dibagi saham," terang Edi.
Dia bilang, masuknya dana itu bukan untuk membayar utang. Melainkan, untuk memperbaiki permodalan maskapai yang pernah berjaya di era 1990-an.
"Jadi masuknya dana segitu bukan untuk membayar utang tapi untuk memperbaiki permodalan, jadi nggak ada utang yang dibayar. Saat investor menaruh dana itu tidak untuk membayar kreditur. Dan memberikan dananya pun akan digunakan untuk membeli pesawat, atau mungkin dalam bentuk pesawat yang akan dioperasionalkan," tutupnya.
Rini Pasrahkan Nasib Merpati pada Sidang
Foto: Lamhot Aritonang
|
"Kita harus tunggu pengadilan, nggak bisa nggak," kata Rini di sela-sela kunjungannya ke Makassar, Jumat (5/10/2018).
PKPU sendiri akan menentukan nasib perusahaan maskapai pelat merah ini, akan bangkit dari 'mati suri' atau benar-benar mati. Jika proposal perdamaian diterima kreditur melalui suntikan modal pun, jalan untuk kembali hidup masih panjang. Sebab, mesti ada persetujuan dari DPR.
Lantas, apa respons Rini?
"Apapun kita harus cari jalan terbaik untuk Merpati," ujarnya singkat.