MRT Saja Tak Cukup Ubah Wajah Jakarta

MRT Saja Tak Cukup Ubah Wajah Jakarta

Eduardo Simorangkir - detikFinance
Jumat, 26 Okt 2018 08:00 WIB
Foto: Dok. MRT Jakarta
Jakarta - Warga Ibu Kota bakal bisa menjajal moda transportasi mass rapid transit (MRT) pada Maret 2019 mendatang. Transportasi yang biasa dijumpai di kota-kota negara maju seperti Jepang, China, dan Singapura ini digadang-gadang bakal membawa perubahan buat Jakarta.

PT MRT Jakarta selaku operator moda ini bahkan mengusung tagline increasing mobility, improving life quality (meningkatkan mobilitas, memperbaiki kualitas hidup). Tak lengkap dengan tagline saja, MRT juga mengampanyekan tagar #UbahJakarta agar masyarakat mulai menyadari pentingnya mengandalkan transportasi umum sebagai mobilitas di perkotaan jika Jakarta benar-benar mau mengubah predikatnya sebagai kota macet yang abadi.

Mengandalkan transportasi umum memang menjadi budaya yang mendesak harus ada di kota metropolitan seperti Jakarta. Hal tersebut diakui oleh Tiara, salah seorang pegawai swasta di Jakarta yang menghabiskan waktu tiga jam di jalan untuk menempuh Jakarta dan Tangerang setiap harinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Transportasi umum yang tidak terkoneksi dari rumahnya hingga ke kantornya di Jakarta Pusat menjadi alasan dia lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Selain itu, stigma transportasi umum yang tidak nyaman, aman dan bersih juga membuatnya pesimis terhadap transportasi umum di Jakarta.

"Kartunya juga integrasi dong sama busway sama KRL. Biar nggak usah punya banyak kartu. Dan juga jangan ngaret ya. Harus sesuai jadwal kayak di Swiss," katanya.

"Petugasnya juga harus tegas sama masyarakat yang kadang suka nggak mau ngantre. Petugasnya harus ramah, nggak jutek dan harga tiketnya reasonable," tambahnya.

Harapan-harapan tersebut memang cukup mendesak buat transportasi di ibu kota. Integrasi antarmoda, ketepatan waktu, efisiensi penggunaan kartu hingga pelayanan yang baik dari penyedia jasa menjadi harapan warga ibu kota akan transportasi umum yang bisa diandalkan.

Lalu, bagaimana MRT bisa mengubah Jakarta?

MRT sendiri akan menjadi backbone atau tulang punggung transportasi di Jakarta. Setiap stasiun MRT nantinya akan memiliki feeder seperti TransJakarta.

Mengingat fungsinya sebagai tulang punggung, maka MRT harus bisa membawa budaya bertransportasi yang baik untuk para penggunanya, dengan harapan budaya tersebut bisa terus dibawa ke moda-moda transportasi lainnya. Setidaknya ada tiga pihak yang dibutuhkan keterlibatannya agar misi mengubah Jakarta menjadi kota yang lebih baik, di antaranya masyarakat, pemerintah dan media.

Dari masyarakat, ada sejumlah perbaikan perilaku dalam menggunakan transportasi umum yang diharapkan dengan beroperasinya MRT. Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta Tubagus Hikmatullah mengatakan kesiapan masyarakat untuk mengikuti budaya tersebut menjadi yang paling kritis menentukan tercapai atau tidaknya misi MRT untuk mengubah Jakarta.

"Tantangan terberat adalah kesiapan publik. Bagaimana membuat publik mempunyai perilaku yang berbeda saat ada di stasiun," katanya dalam sebuah paparan di kantor MRT Jakarta, Rabu (23/10/2018).


Beberapa perubahan perilaku yang diharapkan di antaranya bagaimana cara mengantre yang baik dan benar, menghindari percakapan yang terlalu berisik dan berpindah-pindah, menelepon atau menggunakan telepon ketika berjalan, sampai bagaimana norma duduk di kereta.

Selain itu, tata cara saat naik atau turun dari kereta juga harus lebih tertib, yakni dengan mempersilakan penumpang yang turun untuk keluar terlebih dahulu. Penumpang juga diharapkan memahami bagaimana ketika membawa barang atau memakai bagasi di transportasi umum, soal kebisingan suara dari headphone, pembicaraan yang terdengar ketika menggunakan handphone, makan dan minum di dalam kereta yang penuh hingga perilaku duduk di lantai kereta.

Selain itu, mengubah Jakarta juga tak sekedar membangun dan mengoperasikan sebuah transportasi umum. MRT tak akan bisa mewujudkan misi mengubah Jakarta jika transportasi tersebut tidak terkoneksi dengan transportasi umum lainnya.

Hal tersebut juga tercermin dari hasil survei MRT yang menyebutkan bahwa alasan utama masyarakat mau menggunakan MRT bukanlah tarif, melainkan interkoneksi antar moda.

"Masyarakat sebenarnya nggak peduli sama harga, tapi lebih ke interkoneksi," tambah Hikmat.

Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono mengamini hal tersebut. Mengatasi macet di Ibu Kota tak bisa hanya mengandalkan transportasi-transportasi baru seperti MRT hingga LRT yang saat ini sedang dibangun. Butuh integrasi dengan tranportasi umum lainnya dan juga dukungan dari masyarakat untuk beralih ke transportasi umum.

Untuk itu, Jakarta perlu lebih banyak transportasi umum yang terkoneksi satu sama lain agar bisa diandalkan.

"Kita membangun sistem transportasi yang ada, masyarakat banyak pilihan, mau naik pribadi, angkutan massal sudah tersedia," jelas dia beberapa waktu lalu.

Dukungan instrumen kebijakan lainnya juga diperlukan agar masyarakat mau meninggalkan kendaraan pribadinya dan beralih menggunakan transportasi umum. Mengingat jumlah kendaraan di Jakarta saat ini sudah melebihi kapasitas, maka dibutuhkan kebijakan yang berani untuk mengurangi jumlah kendaraan yang ada di Jakarta.

Beberapa kebijakan yang mengarah ke sana sudah mulai dilakukan. Di antaranya pemberlakuan ganjil genap dan menaikkan tarif parkir kendaraan pribadi di Jakarta.


Jika tak ada terobosan dalam mengatasi macet di Ibu Kota, Jakarta diperkirakan akan macet total atau mengalami gridlock pada tahun 2020. Ide tentang ERP (electronic road pricing), tarif parkir yang mahal, atau pajak kendaraan yang mahal mungkin akan semakin mengurangi minat masyarakat menggunakan kendaraan pribadi. Selain itu, mengubah cara berkendara masyarakat Ibu Kota yang mengakibatkan kemacetan, juga turut menjadi pekerjaan rumah.

"Seperti ERP (electronic road pricing). Bahkan park and ride (lahan parkir) juga sebetulnya jangan terlalu banyak," lanjut Hikmat.

Dengan kebijakan-kebijakan tadi, maka masyarakat diharapkan mau berpindah menggunakan transportasi umum untuk mobilitasnya sehari-hari. Transportasi yang tersedia setidaknya harus memenuhi empat aspek, yakni cepat, tepat, aman dan nyaman.

Keempat aspek tersebut juga diusung MRT Jakarta menjadi keunggulannya. MRT akan dioperasikan dengan sistem semi otomatis level 2 di mana kereta bergerak dan berhenti secara otomatis, dan masinis berfungsi sebagai penutup pintu dan mengoperasikan kereta dalam keadaan darurat.

Dengan demikian kereta MRT beroperasi dengan headway atau rentang waktu antar kereta setiap 5 menit sekali, dapat menempuh jarak 16 km dari Lebak Bulus-Bundaran HI dalam waktu 30 menit. Kereta MRT juga dilengkapi stasiun-stasiun yang nyaman dan dilengkapi fasilitas mendukung termasuk bagi difabel.

Dari segi keamanan, konstruksi jalur MRT menggunakan standar konstruksi SNI 2012. Pintu masuknya ditinggikan hingga 1,5 meter, menggunakan anti-flood barrier system, sump pit dengan sistem pompa dan sensor ketinggian air sehingga dijamin tahan banjir.

"MRT kalau cuma 16 km memang terlalu bombastis (untuk mengubah Jakarta). Tapi kami berharap ini bisa jadi katalisator," jelas Hikmat.

(eds/ang)

Hide Ads