-
Bank Indonesia (BI) kembali mengambil instrumen kebijakan. Suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate naik 25 basis poin dari 5,75% menjadi 6%.
Jika ditotal dari awal tahun BI sudah menaikan suku bunga acuan sebanyak 175 basis poin. Kebijakan itu diambil dalam beberapa tahap.
Keputusan itu untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan global, menahan volatilitas nilai tukar hingga menekan defisit neraca transaksi berjalan.
Tujuan utama BI menaikan suku bunga acuan tentunya untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Namun kali ini BI juga menaikkan suku bunga acuan dengan alasan untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD).
"Keputusan tersebut sebagai langkah lanjutan Bank Indonesia untuk memperkuat upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.
Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia yang kembali mengalami defisit di bulan Oktober. Kali ini nilainya US$ 1,82 miliar.
Defisit terjadi karena impor Indonesia bulan Oktober 2018 tercatat US$ 17,62 miliar. Sedangkan ekspor Indonesia bulan Oktober 2018 tercatat US$ 15,8 miliar.
Sementara BI mencatat, defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan III-2018 meningkat sejalan dengan menguatnya permintaan domestik. Defisit transaksi berjalan pada triwulan III 2018 tercatat sebesar 8,8 miliar dolar AS (3,37% PDB), lebih tinggi dibandingkan dengan defisit triwulan sebelumnya sebesar 8,0 miliar dolar AS (3,02% PDB).
"Kenaikan defisit transaksi berjalan antara lain dipengaruhi kenaikan impor yang berkaitan dengan proyek infrastruktur Pemerintah yang diyakini dapat meningkatkan produktivitas perekonomian ke depan," tambah Perry.
Perry menerangkan, memang Indonesia saat ini masih terbebani besarnya impor dibanding ekspor. Namun hal itu tidak bisa dihindari karena banyaknya impor terkait barang modal.
Untuk menambal besarnya impor itu, BI berupaya untuk menjaga dari sisi arus modal asing yang saat ini diliputi kondisi ketidakpastian global. Untuk itu BI menaikkan suku bunga acuan demi menarik dana asing.
BI pun mencatat neraca transaksi modal dan finansial pada triwulan III 2018 surplus cukup besar, yakni US$ 4,2 miliar. Hal itu didukung oleh meningkatnya aliran masuk investasi langsung.
Perry yakin, defisit transaksi berjalan hingga akhir tahun masih akan di bawah 3% terhadap PDB. Sementara tahun depan BI memprediksi menurun di angka 2,5%.
BI menilai pergerakan rupiah bergerak sesuai mekanisme pasar dan mendukung proses penyesuaian sektor eksternal dalam menopang kesinambungan perekonomian.
BI mencatat pada triwulan III-2018 rupiah tercatat melemah 3,84%. Sementara pada Oktober 2018 rupiah melemah terhadap dolas AS sebesar 1,98%.
"Pelemahan itu akibat ketidakpastian ekonomi global," kata Perry.
Namun BI mencatat pada November 2018 rupiah menguat dipengaruhi aliran masuk modal asing yang dipicu kondisi perekonomian domestik yang tetap kondusif, kebijakan pendalaman pasar keuangan, dan pengaruh sentimen positif dari hasil pemilu di AS dan sempat meredanya ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok.
"Aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik terjadi pada semua jenis aset, termasuk ke pasar saham," kata Perry.
Dengan perkembangan tersebut, sampai 14 November 2018, secara year to date Rupiah terdepresiasi 8,25%. Menurut Perry pelemahan itu masih lebih rendah dari mata uang negara Turki, Afrika Selatan, India, dan Brasil.
Selain memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate menjadi 6%, BI juga mengambil beberapa keputusan baru. BI juga menaikkan porsi pemenuhan GWM Rupiah Rata-rata (konvensional dan syariah) dari 2% menjadi 3%.
BI juga meningkatkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) baik konvensional dan syariah yang dapat direpokan ke BI dari 2% menjadi 4% yang dihitung dari Dana Pihak Ketiga (DPK) masing-masing perbankan.
Gubernur BI Perry Warjiyo menekankan kedua kebijakan itu diambil bukan bertujuan untuk memperketat kebijakan pemenuhan likuiditas, melainkan untuk meningkatkan fleksibilitas dan distribusi likuiditas di perbankan.
"Dengan demikian ini meningkatkan fleksibilitas dari manajemen meningkatkan likuiditas dan distribusi likuiditas, bukan mengetatkan," ujarnya.
Perry menjelaskan GWM Rupiah Rata-rata merupakan bagian dari GWM Primer yang saat ini di level 6,5%. GWM atau giro wajib minimum sendiri adalah batas minimum simpanan perbankan dalam bentuk rekening giro.
GWM rupiah rata-rata sendiri diartikan sebagai dana simpana giro milik bank yang kini dihitung secara rata-rata selama 2 minggu. Itu artinya perbankan saat ini diharuskan memiliki simpanan giro yang dihitung secara rata-rata dalam 2 minggu sebesar 3%.
Sementara PLM merupakan perhitungan yang bisa menjadi underlying bagi perbankan melakukan repo atas surat berharga ke BI. Dengan rasio PLM meningkat maka diharapkan likuiditas antar perbankan semakin lancar.
"Itu isinya surat berharga seperti SBN, SBI, maupun yang lain. Dengan menaikan prosi yang bisa direpokan dari 2% jadi 4%, sehingga seluruh surat-surat berharga yang dimilik bank pemenuhan PLM bisa jadi underlying repo ke BI. Bisa meningkatkan likuditas bank," terangnya.
BI sendiri mencatat rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan terjaga pada tingkat yang aman mencapai 22,9%. Sementara rasio likuiditas (AL/DPK) terjaga sebesar 19,2% pada September 2018, meningkat dibandingkan posisi Agustus 2018 sebesar 18,3%.