-
Indonesia hingga Oktober 2018 tercatat mengalami defisit neraca perdagangan sebesar US$ 1,82 miliar. Defisit ini terjadi karena impor ke Indonesia pada Oktober tercatat US$ 17,62 miliar sementara itu ekspor US$ 15,8 miliar.
Dalam rentang waktu 10 bulan, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan RI hanya tiga kali mengalami surplus dan sisanya defisit. Bagaimana kondisi perdagangan Indonesia yang sebenarnya?
Neraca perdagangan Indonesia periode Oktober 2018 tercatat defisit sebesar US$ 1,82 miliar. Defisit ini terjadi karena impor ke Indonesia pada Oktober tercatat US$ 17,62 miliar sementara itu ekspor US$ 15,8 miliar.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan saat ini pemerintah Indonesia sedang kebakaran jenggot karena kondisi neraca yang mengalami defisit. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti menjelaskan dalam satu tahun ini surplus neraca perdagangan hanya tiga kali.
"Pemerintah kebakaran jenggot nih, gelisah neraca perdagangannya defisit terus, masa dalam setahun cuma 3 kali surplus," kata Yunita dalam workshop media di Bogor.
Menurut dia kinerja ekspor Indonesia tidaklah buruk, namun laju pertumbuhan ekspor memang kalah cepat dibandingkan dengan laju pertumbuhan impor.
"Sebetulnya kinerja ekspornya cukup bagus meningkat terus. Tapi laju pertumbuhan ekspor tidak dapat mengimbangi impornya. Impornya jauh lebih tinggi dari ekspor," jelasnya.
Menurut dia kinerja ekspor impor ini sangat berpengaruh pada produk domestik bruto (PDB) nasional. Oleh sebab itu, diharapkan ke depannya pertumbuhan ekspor jauh lebih tinggi daripada impor.
Yunita menjelaskan, PDB memang dipengaruhi konsumsi rumah tangga, konsumsi lembaga nonprofit, konsumsi pemerintah dan perubahan inventori. Namun, PDB juga dipengaruhi oleh besarnya ekspor dikurangi impor.
"Jadi amat sangat mempengaruhi laju pertumbuhan ekspor terhadap impor. Maka pemerintah amat sangat mengusahakan surplus. Harusnya semakin meningkat, seharusnya," tandasnya.
Dari data BPS pada Januari tercatat defisit US$ 756 juta, Februari defisit US$ 52,9 juta, Maret surplus US$ 1,12 miliar, April defisit US$ 1,63 miliar, Mei defisit US$ 1,52 miliar, Juni surplus US$ 1,74 miliar, Juli defisit US$ 2,03 miliar, Agustus defisit US$ 1,02 miliar, September surplus US$ 227 juta, Oktober defisit US$ 1,82 miliar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, hal itu karena impor sulit direm. Dia mengatakan, tingginya impor lantaran ekonomi Indonesia terus tumbuh. Sementara, itu kemampuan dalam negeri untuk memproduksi kebutuhan tersebut tidak cukup mumpuni.
"Impornya nggak mau direm, kalau dengan pertumbuhan yang tadi saya singgung kuartal III 5,17%. Kalau ekonomi tumbuh, artinya apa, perlu impor. Karena banyak sekali yang tidak kita hasilkan," kata Darmin di Jakarta pekan lali
Sementara, ekspor melambat. Ada dua hal yang mempengaruhi lambatnya impor.
Pertama, ekspor Indonesia masih didominasi oleh sumber daya alam seperti pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan lain-lain.
"Kebetulan, faktanya turun dia harganya," ujarnya.
Kedua, melambatnya ekspor karena dampak perang dagang antar Amerika Serikat (AS) dan China. Dampak perang dagang ini membuat ekonomi China melambat sehingga kebutuhan barang mentah berkurang.
"Dampak tidak langsung perang dagang, China pertumbuhan ekonomi melambat, karena melambat kebutuhan bahan mentah yang kita ekspor melambat. Artinya, ekspor kita melambat," paparnya.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyampaikan, migas menyumbang cukup besar terhadap defisit neraca perdagangan lantaran harga minyak yang tinggi, walaupun belakangan mulai turun.
"Memang itu migas kita itu kan agak luas itu ya dan memang itu termasuk karena harga meningkat walaupun hari hari ini dia mulai turun harganya. Sehingga memang migas selama tiga kuartal impornya itu besar," kata Darmin.
Darmin tak sepenuhnya menilai defisit neraca perdagangan lantaran impor migas tinggi, karena menurutnya impor bahan baku dan barang konsumsi juga masih tinggi.
"Ya memang artinya karena memang pertumbuhannya juga relatif masih baik, impornya jalan terus. Kalau kamu lihat kan selalu dominasinya bahan baku, baru barang modal. Barang konsumsi juga, tapi ya perannya tidak banyak berubah," ujarnya.
Di sisi lain, ekspor juga belum cukup pesat dibandingkan impor yang jalan terus, disamping aliran modal yang keluar (capital outflow) dari Indonesia juga cukup deras sementara modal yang masuk (capital inflow) tidak seberapa.
"Sebenarnya persoalan kita sekarang kan lebih banyak karena ekspor melambat impornya tetap tinggi sehingga defisitnya membesar. Tapi yang lebih banyak pengaruhnya sebetulnya karena capital outflow-nya banyak, inflow-nya sedikit," tambahnya.