Syukur menanggapi persoalan polemik impor jagung yang belakangan ramai diberitakan. Menurutnya, keputusan pemerintah yang mengimpor jagung sebanyak 100 ribu ton, dilakukan di tengah perhitungan produksi jagung tahun 2018 yang diperkirakan surplus hingga 12,98 juta ton.
"Indonesia sebagai bagian dari warga global, akan terus konsisten mengikuti aturan yang berlaku di tingkat global, seperti WTO. Namun usaha dan upaya kita untuk kemandirian dan kedaulatan pangan, tidak boleh berhenti," kata Syukur dalam keterangan tertulisnya, Rabu (28/11/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihaknya menjelaskan, keputusan ini diambil sebagai upaya penyelamatan peternak ayam mandiri, serta menjaga stabilitas harga ayam dan telur.
"Sebagai upaya melindungi masyarakat konsumen dengan menjaga harga pasokan bahan pangan dan stabilitas harga di pasar. Sehingga angka inflasi terjaga sebagaimana yang ditargetkan Pemerintah", ujar Syukur.
Sambil menunggu jagung Impor, pemerintah berinisiatif mengusahakan jagung pakan bagi peternak ayam layer (petelur) mandiri, yang semakin terdesak karena harga jagung yang terus merangkak naik. Namun, langkah Kementan menuai kritik.
Dikatakan Syukur, industri perunggasan khususnya ayam yang terus berkembang dan menunjukkan peningkatan produksi. Untuk daging ayam ras, produksi nasional meningkat dari 1,5 juta ton pada 2014 menjadi 1,8 juta ton di 2017. Begitu juga telur meningkat dari 1,2 juta ton menjadi 1,5 juta ton pada periode waktu yang sama.
Baca juga: Bertani Hortikultura Cocok untuk Milenial |
Kondisi peningkatan produksi pada industri perunggasan, jelas Syukur, tentunya memberikan kabar gembira sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Ini tentunya mengatrol kebutuhan pakan yang selama ini mengandalkan dari jagung.
Sementara itu, Dekan Fakultas Pertanian Institut Ilmu Pertanian Bogor (IPB), Suwardi, mengungkapkan bahwa untuk tujuan tertentu terkadang impor diperlukan.
"Dari segi jumlah produksi untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri, produksi kita mungkin saja sudah mencukupi. Tetapi jumlah saja tidak cukup karena masih ada faktor lain", ujar Suwardi. (ega/hns)