"Tentunya kepentingan nasional menjadi perhatian kami, termasuk menjaga neraca perdagangan kita tetap positif," kata Kepala Barantan Banun Harpini, dalam keterangan tertulis, Minggu (16/12/2018).
Saat memimpin pertemuan koordinasi dagang Indonesia - Filipina di ruang rapat Kementerian Pertanian, Jumat (14/12) itu, Banun menjelaskan bahwa tindakan ini merupakan hasil negosiasi bersama pemerintah Filipina yang mengajukan tuntutan yakni berupa fasilitasi masuknya komoditasi pertanian dari Filipina berupa buah pisang, nanas maupun bawang merah agar dapat masuk ke Indonesia, terutama melalui pelabuhan Bitung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebenarnya sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian 42/2012, pemerintah membatasi pintu masuk impor produk segar asal tumbuhan hanya melalui lima pintu masuk, yaitu Pelabuhan Belawan di Medan, Tanjung Perak di Surabaya, Pelabuhan Soekarno Hatta di Makasar dan Bandar Udara Soekarno Hatta di Banten serta daerah bebas dagang atau Free Trade Zone Area.
Namun dengan adanya negosiasi ini yang dibukakan pintu di Bitung maka Barantan segera mempersiapkan perangkat kebijakan, sarana dan prasarana perkarantinaan.
Menurutnya, ada dua kunci yang menjadi pegangan karantina dalam memfasilitasi perdagangan yakni keamanan pangan dan daerah bebas hama penyakit tumbuhan atau pest free area (PFA).
"Dengan kedua kunci ini, meskipun pintu di pelabuhan Bitung terbuka, kami masih bisa mengendalikan dan mengontrol kesehatan tumbuhan dan keamanan pangan yang masuk ke Indonesia," tandas Banun.
Sebelumnya, Pemerintah Filipina telah menerapkan Special Safeguards (SSG) duty atas produk kopi instan 3-in-1 asal Indonesia. Special Safeguards merupakan salah satu instrumen kebijakan perdagangan yang diatur oleh organisasi dagang dunia atau WTO berupa pengenaan tarif bea masuk tambahan produk impor yang dianggap memonopoli atau menguasai pasar dalam negeri sehingga merugikan petani negara pengimpor.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor produk yang tengah dikenakan kebijakan pengamanan oleh pemerintah Filipina ini berkisar antara US$ 350 - 400 juta per tahun, dan ditambah dengan pendapat lainnya yang dapat mencapai US$ 600 juta.
"Melihat potensi ekspor kita yang tinggi, tentunya pemberlakukan kebijakan ini sangat merugikan Indonesia dan perlu lakukan upaya negosiasi," terang Dr. Sinyo Harry Sarundajang, Duta Besar Republik Indonesia untuk Filipina.
Pada pertemuan yang juga dihadiri oleh pejabat dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri ini, Sinyo menyampaikan bahwa pihak Indonesia meminta Filipina untuk mencabut kebijakan SSG Duty yakni dengan mengubah dari penundaan pajak impor sementara terhadap kopi olahan PT Mayora menjadi pencabutan tarif pajak. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi turunnya nilai ekspor Indonesia ke Filipina.
(mul/mpr)