Jakarta -
Inggris akan keluar dari Uni Eropa resmi pada Maret 2019 nanti. Meskipun kesepakatan itu belum terjadi, efek dari Brexit sudah terasa dan membuat perekonomian Inggris lesu, khususnya industri keuangan.
Bahkan beberapa perusahaan dan industri jasa keuangan telah angkat kaki dan memindahkan bisnisnya. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan bisnis imbas Brexit.
Padahal, London sendiri saja telah menjadi ibu kota keuangan Eropa yang tak terbantahkan selama beberapa dekade. Tempat itu merupakan rumah bagi markas internasional dari puluhan bank global.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sana industri jasa keuangan mempekerjakan 2,2 juta orang di seluruh negeri, dan memberikan kontribusi 12,5% dari PDB alias menghasilkan US$ 100 miliar atau sekitar Rp 1.450 triliun dalam pendapatan pajak setiap tahun, menurut City of London Corporation.
Berikut informasi lengkapnya yang dihimpun
detikFinance.
Beberapa bank dan perusahaan keuangan yang berada di Inggris pun telah memindahkan beberapa asetnya ke negara-negara lain di Uni Eropa. Bahkan total aset yang dipindahkan diperkirakan sebesar US$ 1 triliun atau sekitar Rp 14.500 triliun (pada kurs Rp 14.500).
Beberapa bank telah mendirikan kantor baru di tempat lain di Uni Eropa untuk melindungi operasi regional mereka setelah Brexit. Perusahaan yang lain menggerakkan asetnya guna melindungi klien dari volatilitas pasar dan perubahan mendadak dalam regulasi.
Mengutip CNN, Minggu (13/1/2019) konsultan ekonomi Ernst and Young (EY), mengatakan perkiraan penyusutan tersebut mewakili sekitar 10% dari total aset sektor perbankan Inggris. Itupun masih merupakan "perkiraan konservatif" karena beberapa bank belum mengungkapkan rencana pemindahan aset mereka, EY sendiri telah melacak 222 perusahaan jasa keuangan terbesar Inggris sejak referendum Brexit pada Juni 2016.
"Data kami hanya mencerminkan gerakan yang telah diumumkan secara publik. Kami tahu bahwa di balik layar perusahaan terus merencanakan skenario 'tidak ada kesepakatan'," kata Omar Ali, kepala layanan keuangan EY.
Inggris sendiri dijadwalkan meninggalkan Uni Eropa hanya dalam 81 hari ke depan. Tetapi Perdana Menteri Theresa May belum mendapatkan dukungan di parlemen Inggris untuk kesepakatan perceraian yang dia lakukan dengan anggota Uni Eropa lainnya. Parlemen Inggris akan melakukan pemungutan suara perihal kesepakatan tersebut minggu depan, dan jika May pada akhirnya gagal mendorong kesepakatan maka Ingggris berpeluang keluar dari Uni Eropa dengan skenario tanpa kesepakatan.
EY mengatakan bahwa perusahaan yang dilacaknya telah memindahkan asetnya ke beberapa negara bahkan menciptakan sekitar 2.000 pekerjaan baru di negara-negara tersebut sebagai tanggapan terhadap Brexit.
Tercatat, Deutsche Bank (DB), Goldman Sachs (GS) dan Citi (C) telah memindahkan sebagian bisnis mereka dari Inggris. Daerah Dublin, Luksemburg, Frankfurt dan Paris menjadi tujuan paling populer perusahaan-perusahaan tersebut.
"Semakin dekat kita pada 29 Maret tanpa kesepakatan. Semakin banyak aset yang ditransfer dan jumlah karyawan dipekerjakan secara lokal atau dipindahkan," tambah Ali.
Bukan hanya kelesuan yang terjadi di sektor industri keuangan saja, ekonomi Inggris secara luas pun menderita karena Brexit. Inflasi melonjak dan kepercayaan konsumen pun turun, merugikan sektor ritel negara itu. Investasi bisnis juga telah turun secara dramatis, ketika banyak perusahaan menunda rencana investasinya karena ketidakpastian.
Pabrikan besar, termasuk Airbus, telah memperingatkan mereka mungkin harus keluar dari Inggris jika ada Brexit yang tidak memiliki kesepakatan. Bahkan grup teknik Jerman Schaeffler menutup dua pabrik di Inggris karena ketidakpastian. Masyarakat Produsen dan Pedagang Motor Inggris juga mengatakan pendaftaran mobil baru di negara itu turun 6,8% pada tahun 2018, yang merupakan tahun kedua penurunan berturut-turut.
Pembuat mobil terbesar di Inggris, Jaguar Land Rover (JLR) memecat ribuan pekerja. Hal itu diumumkan oleh perusahaan pada hari Kamis (10/1/2019).
Sebanyak 4.500 karyawan diputus kontraknya oleh JLR. Hal itu dilakukan untuk memangkas biaya perusahaan sebesar US$ 3,2 miliar.
Salah satu penyebab perusahaan memangkas karyawannya adalah tekanan yang diakibatkan oleh menurunnya penjualan di pasar utamanya, China. Penurunan ini merupakan yang pertama kalinya dalam 20 tahun.
"Penjualan di China merosot sekitar 42% pada Desember dan 22% secara keseluruhan di 2018," jelas pihak JLR.
Faktor lainnya adalah Brexit dan jatuhnya penjualan kendaraan diesel setelah kasus skandal emisi Volkswagen. Perusahaan juga menempatkan ratusan karyawan di salah satu pabriknya untuk membantu pertumbuhan Inggris dalam jangka panjang.
"Kami mengambil tindakan tegas untuk membantu memberikan pertumbuhan jangka panjang dalam menghadapi berbagai gangguan geopolitik dan peraturan serta tantangan teknologi yang dihadapi industri otomotif," kata CEO Ralf Speth.
Keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan menghambat hubungan antara Inggris dengan negara-negara di Eropa. Salah satu kerugiannya adalah menghilangkan laba tahunan sekitar US$ 1,5 miliar.
"Hasil yang salah akan membahayakan rencana perusahaan untuk membelanjakan US$ 102 miliar di Inggris selama lima tahun ke depan,"
terang dia.
Halaman Selanjutnya
Halaman