-
Melonjaknya harga tiket pesawat saat libur Natal dan Tahun Baru kemarin menimbulkan kegaduhan. Bahkan muncul petisi online yang minta maksapai menurunkan tarifnya.
Dalam kegaduhan itu, maskapai yang paling dipojokkan. Kenaikan tarif yang terjadi dianggap terlalu berlebihan dan membebani para pengguna.
Setelah dirundingkan dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan, para maskapai akhirnya mau menurunkan tarif tiket pesawat. Para maskapai yang tergabung dalan Indonesia National Air Carrier Association (INACA) pun sepakat melakukan penurunan tarif.
Namun, maskapai juga tak ingin disalahkan penuh atas kegaduhan itu. Mereka juga merasa menjadi korban atas beratnya kondisi bisnis industri penerbangan.
Mahalnya biaya operasi dengan komponen-komponen yang berfluktuatif membuat maskapai harus putar otak agar tetap bertahan hidup. Berikut informasi selengkapnya:
Asosiasi maskapai yang tergabung dalam Indonesia National Air Carrier Association (INACA) menurunkan harga jual tiket pesawat. Hal ini menyusul adanya keluhan dari masyarakat karena mahalnya harga tiket.
Ketua Umum INACA IGN Askhara Danadiputra mengatakan, asosiasi telah mendengar keluhan masyarakat sehingga maskapai menurunkan harga.
"Kami sudah kumpul dan diskusi kami mendengar keprihatinan masyarakat atas tingginya harga tiket, atas bantuan atau komitmen positif dari stakeholder khususnya AP I, AP II, Airnav kami sejak minggu lalu menurunkan tarif harga domestik Jakarta-Denpasar, Jakarta-Jogja, Bandung-Denpasar, Jakarta-Surabaya," tuturnya.
Penurunan tiket itu merupakan inisiatif dari asosiasi lantaran mendengar keluhan dari masyarakat. Dia menjelaskan penurunan harga tiket yang dilakukan bervariasi nilainya, mulai dari 20% hingga 60%.
Dia memastikan, harga tiket akan kembali normal seperti sebelum masa liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2018. Sebab, kenaikan tiket terjadi saat musim liburan natal dan tahun baru 2019 lalu.
Ketua Indonesia National Air Carrier Association (INACA) I Gusti Ngurah Ashkara Danadiputra pun menjelaskan tentang kondisi bisnis maskapai saat ini. Dalam penjelasannya itu, intinya bisnis maskapai di Indonesia begitu berat.
Pria yang akrab disapa Ari itu menjelaskan, dari sisi biaya dalam bisnis maskapai ada beberapa variabelnya. Di antaranya tergantung dari volatilitas pasarnya, seperti kurs mata uang dan bahan bakar minyak (BBM)
"Khususnya masyarakat juga tahu pembayaran kita komponen cost variabelnya. Semua komponen costnya dalam dolar AS. Sedangkan kursnya berfluktuasi," tuturnya.
Dari sisi bahan bakar avtur sendiri mengalami kenaikan yang cukup signifikan, begitu juga dengan nilai tukar rupiah yang terus menurun.
Ari menjelaskan, BBM sendiri menjadi komponen paling besar untuk biaya operasional maskapai yakni sekitar 40-45%. Kemudian ada komponen pembayaran untuk leasing pesawat sebesar 20%.
"Perusahaan leasing ini lebih didominasi oleh Eropa dan AS. Baru-baru ini saja ada dari China dan Jepang. Mereka suplay dengan sukubung lebih rendah namun aksesabilitasnya masih rendah," terangnya.
Kemudian 10% untuk maintenance pesawat. Sayangnya, kata Ari, kebanyakan pesawat di Indonesia merupakan produksi Airbus dan Boeing. Sehingga dari sisi jasa perawatan pesawat terjadi oligopoli dari kedua perusahaan itu. Kemudiam ada 10% gaji pegawai dan komponem lainnya.
Nah, dari seluruh komponen biaya operasi itu, margin keuntungan maskapai hanya 1% hingga 3%. Jika maskapai menjual di posisi tarif batas atas margin keuntungannya pun hanya 3%.
"Margin 3% itu paling bagus dengan harga yang selangit. Sementara kemarin saat Nataru untuk maskapai full service kenaikannya tidak lebih dari batas atas, sedangkan LCC hanya 60-70% dari batas atas," tegasnya.
Dengan kondisi seperti itu, lanjut Ari, para maskapai terpaksa untuk banyak melakukan inovasi agar tidak rugi. Banyak yang cari untung dari bisnis cargo hingga ruang iklan di dalam pesawat.
"Jadi kita dari harga tiket saja sudah kelelep. Kami bisa terima pemerintah memang tidak bisa menaikkan tarif batas atas karena melihat daya beli masyarakat, makanya kami tidak pernah demo," tutupnya.
INACA menegaskan penurunan harga tiket pesawat bisa dilakukan jika harga bahan bakar avtur juga turun. Sebab komponen bahan bakar dari biaya operasi maskapai cukup besar yakni 40-45%.
"Saya sampaikan bila Pertamina bisa turunkan, kami juga bisa turunkan. Kami belum dapat konfirmasi yang definitif dari Pertamina," ujarnya.
Ari mengungkapkan praktik penjualan avtur yang dilakukan oleh Pertamina. Biasanya untuk penerbangan domestik harga Avtur yang dijual Pertamina lebih mahal 2% ketimbang untuk penerbangan internasional.
"Dari invoice yang kami dapat dari beberapa maskapai memang Pertamina jual 2% lebih murah untuk penerbangan internasional," terangnya.
Sementara Pertamina dalam pasar penjualan avtur di luar negeri sangat kompetitif. Bahkan menurut Ari, harga avtur Pertamina 16-21% lebih murah ketimbang perusahaan produsen bahan bakar dari negara lain.
"Saya dapat info dari maskapai memang kalau internasional Pertamina lebih kompetitif. Pertamina dibanding Shell ataupun yang lainnya lebih kompetitif di pasar internasional. Misalnya maskapai kita beli dari Pertamina di Singapura itu lebih murah dibanding Shell," tambahnya.