Caranya, kata Rizal, ialah dengan menghentikan pinjaman berbunga tinggi.
"Harus ada cara-cara inovatif pemerintah dalam kebijakannya. Salah satunya, menghentikan pinjaman dengan bunga tinggi," ungkap Rizal kepada wartawan di Malang, Kamis (31/1/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Biar swasta yang pinjam dan mengerjakan, jangan BUMN. Langkah lain, adalah meningkatkan tax ratio Indonesia di posisi 16% sampai 18%, zaman Gus Dur mampu 12,5%, hari ini 11,5%. Padahal target Pak Jokowi tax ratio 16%, tidak tercapai ternyata," ujarnya.
"Ini juga menunjukkan menteri ekonominya tak bekerja, hanya fokus kepada hal-hal kecil, pajak pedagang kecil, yang gede-gede tak disentuh, termasuk sektor mineral," sambung mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman ini.
Rizal menyampaikan, bahwa beban hutang Indonesia setiap hari bisa mencapai Rp 1,24 triliun. Padahal, kata dia, jika digunakan untuk mencetak produk pangan dengan membuka lahan baru, maka akan tercapai kedaulatan pangan di masa mendatang.
"Padahal kalau kita pake itu, bikin sawah ladang tebu, ladang jagung jutaan rakyat kita bekerja," katanya.
"Padahal dengan Rp 1 triliun kita bisa bikin itu tadi sawah baru, lebih malah nggak sampai segitu. Bayangkan lapangan pekerjaan yang bisa dibuka dengan 1 juta sawah baru, setengah juta hektar tebu, 1 juta kebun jagung. Daripada uangnya untuk bayar utang," sambungnya.
Dalam kesempatan itu, Rizal juga menjelaskan soal cuitan di akun twitternya soal yield (imbas hasil) sebesar 11.625%. Hal itu ditegaskan bukan merupakan bunga, melainkan utang yang belum lunas yang diterbitkan pada 2009.
"Itu bukan utang baru, melainkan utang yang belum lunas yang diterbitkan tahun 2009. Tetapi pelakunya tetap sama, yang menerbitkan utang lama dengan bunga super mahal itu, namanya menteri keuangan zaman SBY, Sri Mulyani. Karena dia selalu menerbitkan utang 2% lebih tinggi dari negara yang ratingnya di bawah Indonesia, misalnya Thailand, Filipina, Vietnam, harusnya surat hutang diterbitkan bunganya lebih rendah," ungkap Rizal.
Dia menambahkan apabila bunga diterbitkan dengan jangka waktu 10 tahun. Bunga 2% akan menjadi 40%. Sehingga rakyat Indonesia harus menanggung bunga utang tambahan US$ 11 miliar atau hampir 12 triliun.
"Ini sebetulnya kejahatan. Ini sebetulnya yang menjelaskan, kenapa dia (Sri Mulyani) dipuji-puji oleh bankir internasional. Mana ada, orang, menteri keuangan ngasih bunga terlalu tinggi. Menteri keuangan yang hebat dari Singapura, dari Jepang, dari Cina tidak pernah kayak begitu, karena kalau pinjam yield-nya ditekan semurah mungkin. Karena bekerja untuk rakyatnya, tapi menteri keuangan kita, SPG IMF, nawarin lebih tinggi, ini kerugian dan kejahatan kerah putih," beber Rizal.
Belakangan, lanjut Rizal, di pemerintahan Jokowi, yield Indonesia lebih tinggi di kawasan Asia, yakni 8 persen. Sementara negara lain, dalam penerbitan surat utang yield jauh di bawah angka tersebut, yakni 4% sampai 5%.
"Ternyata kelakuannya nggak berubah, ibu SPG ini. Zaman SBY yield super tinggi, zaman Jokowi juga super tinggi. Nah, ini membuat beban negara kita. Kalau anda perhatikan belakangan ini rupiah menguat, memang Amerika Serikat tidak terlalu agresif, tetapi banyak pinjaman baru. Sekarang, usulan saya dulu di kabinet tidak dilaksanakan, sekarang mau dijalankan. Yaitu semua eksportir harus menaruh hasilnya di Indonesia 100%, hari ini sebelum peraturan ini, hanya 20 persen yang dikembalikan ke di Indonesia," papar Rizal.
Cara-cara inovatif diambil pemerintah tersebut, sangat diapresiasi Rizal Ramli. Daripada melakukan pinjaman baru dengan bunga super tinggi, justru bisa menjadi bom waktu terhadap pemerintah mendatang.