Mulai dari keluhan bunga yang terlalu tinggi hingga cara penagihan yang kasar dan berbau pelecehan seksual.
Selain mendapatkan ancaman, nasabah juga kerap mendapatkan permintaan yang aneh, seperti menjual ginjal hingga menari telanjang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut berita selengkapnya:
Dia menjelaskan jenis pelanggarannya beragam ada penagihan yang tidak hanya dilakukan kepada peminjam atau kontak darurat, penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada di gawai peminjam, hingga ancaman, fitnah dan pelecehan seksual kepada perempuan.
"Ada yang disuruh jual ginjal dan ada korban yang ingin bunuh diri," kata Nelson dalam diskusi di LBH Jakarta, Senin (4/2/2019).
Hal ini disebut sudah menciptakan ketidaknyamanan kepada pengguna layanan. Selain itu juga ada pelanggaran seperti pengenaan biaya administrasi yang tidak jelas. Kemudian aplikasi berganti tanpa pemberitahuan sehingga bunga terus bertambah.
LBH Jakarta menilai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seharusnya tidak hanya mengurusi fintech yang terdaftar saja, namun juga harus bersikap pada korban fintech yang tidak terdaftar di OJK. Hal ini sesuai dengan OJK memiliki tanggung jawab sesuai dengan Pasal 6 Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang OJK.
Dalam aturan tersebut, OJK bertanggung jawab terhadap seluruh layanan jasa keuangan, namun dalam pertemuan tersebut OJK tidak dapat menegaskan keseragaman sikap ke seluruh penyelenggara aplikasi pinjaman online.
Namun kini banyak keluhan fintech yang terindikasi abal-abal, mulai dari bunga yang terlalu tinggi hingga penagihan dengan cara yang kasar.
Salah satunya Dona yang menjadi korban beberapa aplikasi fintech kredit online. Dia menceritakan karena pinjaman online tersebut ia kehilangan pekerjaan. Pasalnya, penagih utang meneror atasan Dona untuk menagih utang.
"Dia menghubungi atasan saya setiap malam. Hingga atasan saya mengira saya mencantumkan namanya dalam daftar kontak darurat. Padahal itu terlalu gila menjadikan nama bos untuk jaminan," kata dia di LBH Jakarta, Senin (4/2/2019).
Dona menambahkan, karena kejadian tersebut dia berkali-kali menghubungi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengadukan hal ini. Namun ia tak mendapat respons dari regulator keuangan itu.
"Saya berkali kali menghubungi layanan konsumen melalui e-mail dan telepon, mereka tutup telinga dan hampir tidak merespons. Kalaupun ada respons itu hanya tanggapan basa-basi mereka hanya bilang fintech yang saya gunakan tidak terdaftar di sana dan saya diminta menghubungi polisi," ujar dia.
Menurut Dona terjeratnya dia di layanan kredit online bukan karena ia tak memiliki niat untuk membayar. Hanya saja dia memohon untuk keringanan pembayaran cicilan karena bunga yang terlalu besar.
Kemudian, dia menyampaikan saat ini fintech kredit online memiliki cara penagihan yang kurang baik.
"Kita bukan tidak mau bayar, tapi kasih kita satu keringanan. Jangan permalukan kita dengan menghubungi kontak-kontak di HP," ujar dia.
Dona menyampaikan, untuk fintech-fintech yang ada saat ini memiliki sejumlah kejanggalan seperti alamat kantor yang hanya menggunakan virtual office dan tidak jelas. Ia juga mempertanyakan peran OJK dalam melindungi konsumen.
"Yang saya pertanyakan kenapa OJK hanya melindungi fintech, bukan konsumennya?" imbuh dia.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengungkapkan hingga saat ini LBH Jakarta belum memberikan data terkait pelanggaran yang dilakukan oleh fintech abal-abal tersebut.
Ketua Harian AFPI Kuseryansyah mengatakan karena hal tersebut, pengaduan yang masuk melalui LBH Jakarta hingga saat ini belum dapat diselesaikan.
"AFPI sudah beberapa kali berkomunikasi dengan LBH Jakarta untuk menyelesaikan pengaduan nasabah ini. Namun sampai kini, pihak LBH Jakarta belum juga memberikan data dari pengaduan yang dimaksud. Bahkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun sudah meminta detail pengaduan konsumen terkait, namun sampai saat ini belum diberikan," kata Kuseryansyah di Kantor APFI, Centennial Tower, Jakarta, Senin (4/2/2019).
Asosiasi sangat menyayangkan, usaha baik dari OJK dan pihaknya yang tidak disambut baik oleh LBH Jakarta sebagai pihak penerima laporan tersebut. Kuseryansyah pun meminta agar LBH Jakarta juga mendengarkan pernyataan dari sisi penyelenggara.
"LBH sebagai lembaga kredibel harusnya fairness, adil mendengarkan dua sisi yaitu pengadu dan penyelenggara. Dengan tidak adanya data, kami melihat belum ada itikad baik untuk menyelesaikan masalah ini," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko menjelaskan, sebagai tindakan preventif, pihaknya telah membentuk komite etik yang akan mengawasi pelaksanaan kode etik operasional atau code of conduct (CoC) fintech peer to peer (P2P) lending (pendanaan online).
Dengan adanya CoC, pihaknya berharap perlindungan konsumen semakin baik. Sebab penyelenggara P2P lending dilarang mengakses kontak, riwayat panggilan, dan galeri foto.
"Dan ada juga penetapan biaya pinjaman maksimal pinjaman. Dalam kode etik itu, AFPI menetapkan total biaya pinjaman tidak boleh lebih dari 0,8% per hari dengan penagihan maksimal 90 hari," ujarnya.
Selain itu, AFPI juga tengah mengembangkan pusat data fintech P2P yang dapat mengindikasi peminjam nakal. Jika peminjam tidak melunasi utang dalam 90 hari, akan tercatat pada pusat data fintech sebagai peminjam bermasalah.
Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menjelaskan untuk melindungi pelanggan kredit online. Asosiasi menyediakan posko pengaduan layanan pendanaan online yang dapat diakses melalui call center maupun e-mail.
Dia menyebutkan masyarakat yang memiliki masalah dengan layanan fintech ini selain ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga bisa melaporkan ke Asosiasi melalui laman afpi.or.id.
"Masyarakat bisa langsung melaporkan ke asosiasi melalui website, email sampai call center," kata dia dalam konferensi pers di Centennial Tower, Jakarta, Senin (4/2/2019).
Dengan laporan tersebut, jika yang diadukan adalah fintech yang sudah terdaftar di OJK dan merupakan anggota asosiasi. Maka, asosiasi segera bertindak dengan menegur hingga memberikan sanksi kepada perusahaan.
Namun, jika masyarakat melaporkan fintechilegal atau yang tidak terdaftar di OJK dan bukan anggota asosiasi. Laporan tersebut akan tetap diproses namun dilanjutkan ke OJK.
"Kalau yang masuk masalah laporan fintech ilegal, kita tetap tampung. Kemudian kita teruskan ke Satgas Waspada Investasi, OJK hingga ke Bareskrim," imbuh dia.
Menurut dia ini dilakukan agar masyarakat merasa terlindungi dan nyaman ketika menggunakan layanan fintech.
Wakil Ketua umum AFPI Sunu Widyatmoko menjelaskan dari data OJK sudah ada 99 perusahaan fintech pendanaan yang terdaftar dan telah melakukan layanan lebih dari 9 juta transaksi ke lebih dari 3 juta masyarakat di seluruh Indonesia.
Masyarakat yang diberi pendanaan mayoritas mereka yang belum dapat mengakses layanan keuangan seperti bank, multifinance yakni berasal dari kelompok pekerja, petani, nelayan, perajin dan pelaku usah amikro kecil dan menengah (UMKM).
Selain itu pelaku usaha mikro kelompok wanita, mahasiswa dan milenial yang membutuhkan pendanaan untuk kebutuhan pendidikan dan kelompok masyarakat lain yang membutuhkan pendanaan kesehatan dan kepemilikan properti.
Dalam peer to peer lending sendiri terdiri dari dua jenis penyelenggaraan pendanaan online, yakni P2P pendanaan produktif dan P2P pendanaan multiguna.