Utang pemerintah per Januari 2019 tercatat kembali naik Rp 80 triliun menjadi Rp 4.498,56 triliun dari bulan Desember 2018 yang sebesar Rp 4.418,30 triliun. Rasio utang pemerintah saat ini sebesar 30,1% dari produk domestik bruto (PDB).
Dengan jumlah utang yang terus meningkat, Anggota Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Drajad Wibowo mengatakan bahwa anggaran pembayaran utang pun memiliki porsi yang besar dalam APBN.
"Masalahnya, UU Keuangan Negara gagal melihat seberapa banyak pendapatan negara yang habis dimakan oleh pembayaran pokok dan bunga utang," kata Drajad saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Minggu (24/2/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rasio utang pemerintah memang masih aman, jika mengacu pada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam Penjelasan Pasal 12 ayat 3 membatasi defisit APBN sebesar 3% PDB dan pinjaman pemerintah 60% PDB.
Hanya saja, kata Drajad, porsi pembayaran utang yang terlalu besar jelas mengurangi secara drastis kemampuan negara dalam menyejahterakan rakyat.
Baca juga: Jokowi Sudah Tambah Utang Rp 1.889 Triliun |
Untuk APBN 2018 misalnya, kata Drajad, sebesar 34% dari pendapatan negara habis untuk membayar utang, baik pokok dan bunganya. Pokoknya sebesar Rp 396 triliun dan bunganya sebesar Rp 247,6 triliun. Sementara pendapatan negara dalam APBN 2018 sebesar Rp 1894,7 triliun.
"Akibatnya, pembayaran utang memakan APBN jauh lebih besar dari belanja infrastruktur, pendidikan, kesehatan, atau dana desa," ujar dia.
"Itu yang saya sebut sebagai opportunity cost dari pembayaran utang. Itu harus dijadikan ukuran jika negara memang ingin menyejahterakan rakyat secara maksimal," tambah dia.